PALU, KabarSelebes.com – Masyarakat Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso menolak pemancangan tapal batas Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilaksanakan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XVI Palu (BPKH) di dalam kebun-kebun warga.
Menurut Kepala Desa Katu Ferdinan Lumeno, pemancangan tapal batas TNLL merupakan wujud nyata pengingkaran Negara terhadap penduduk yang telah lama bermukim di dalam kawasan hutan.
“Kami menolak keras pemancangan tapal batas yang dilakukan oleh BPKH Wilayah XVI Palu. Sebab, pemancangan tapal batas hanya berada di dalam kebun-kebun warga. Ini adalah cara-cara konoloni yang ingin mengusir kami dari Desa Katu,” tegas Ferdinan.
Ia menyatakan masalah serupa pernah terjadi pada masa kolonial dan orde baru.
“Pada 1918, Belanda memaksa penduduk Katu pindah dari bukit-bukit, menggelandang dan membakar ladang-ladang yang siap panen untuk tujuan politik ekonomi Belanda,” kata Ferdinan.
Ia juga mengurai sejarah pengusikan Taman Nasional (saat itu masih Lore Kalamanta) yang berlangsung sejak 1980-an. TNLL hampir mengusir penduduk Katu keluar tujuh kilo meter dari pemukiman mereka. Bahkan negara pernah berhutang kepada Asian Development Bank (ADB) hanya untuk mengusir penduduk yang bermukim di sekitar dan di dalam kawasan hutan termasuk Katu. Berkat perjuangan panjang Orang Katu yang didukung oleh banyak pihak akhirnya pemindahan itu tidak berhasil.
“Kini TNLL kembali mengusik Orang Katu dengan alasan pelestarian hutan dan ekosistem di dalamnya. Pertanyaannya berapa luas hutan dan ekosistem di dalamnya yang kami rusak? Sejak seratus tahu lalu, hutan di sini tetap utuh, kami memanfaatkan hutan hanya untuk kebutuhan keluarga demi bertahan hidup dan menyekolahkan anak,” kata Ferdinan.
Ia juga menyesalkan tindakan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan dan pelaksana teknis di bawanya. Sebab, masyarakat Katu tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pemasangan tapal batas wilayah TNLL yang berbatasan langsung dengan wilayah kelola Desa Katu.
Menurutnya pihak BPKH tiba-tiba datang memasang patok batas antara wilayah pengelolaan masyarakat Katu dan TNLL.
“Ini sangat keterlaluan, mereka tiba-tiba menetapkan wilayah Katu seluas ±700-an hektar. Padahal wilayah administrasi Desa Katu seluas ± 5.461,3 hektare. Ini belum termasuk total keseluruhan wilayah adat Katu yang mencapai ± 45.000 hektare,” kata Ferdinan.
Untuk itu, menurut Ferdinan masyarakat Katu akan mengirimkan surat penolakan pemancangan batas TNLL kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia dan Kementrian Agraria dan Tata Ruang Republik Indonesia. Surat itu juga akan ditebuskan kepada 11 institusi terkait yang memiliki kewenangan atas kawasan hutan TNLL.
Sementara itu, Manager Kampanye Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Adriansa Manu, menyatakan YTM mendukung sepenuhnya tindakan masyarakat Katu untuk menolak pemancangan tapal batas sementara TNLL.
“Masyarakat Katu memiliki hak primordial, menolak tapal batas taman nasional yang ditetapkan oleh KLHK jika itu tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Apalagi kehadiran TNLL justru makin mempersulit petani dalam mengelola dan mengakses sumber daya alamnya,” tandas Adriansa dalam siaran persnya yang dikirimkan ke redaksi KabarSelebes.com Minggu.(ABD)