Tutup
Kolom Anda

Putusan Diskualifikasi Paslon Peraih Suara Terbanyak: Konsistensi MK Menjaga Integritas Pemilu

67
×

Putusan Diskualifikasi Paslon Peraih Suara Terbanyak: Konsistensi MK Menjaga Integritas Pemilu

Sebarkan artikel ini
Fransciscus Manurung

Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), telah menjadi rujukan penting dalam hukum pemilu di Indonesia.

Putusan-putusan ini tidak hanya menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, tetapi juga menciptakan prinsip-prinsip hukum baru, salah satunya terkait diskualifikasi pasangan calon (paslon) peraih suara terbanyak.

Realitas menunjukkan, diskualifikasi paslon pemenang bukanlah hal baru. Sejarah mencatat, MK pertama kali mengambil langkah tegas ini, pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Bengkulu Selatan tahun 2008.

Kala itu, pasangan Dirwan Mahmud yang meraih kemenangan dengan suara signifikan didiskualifikasi, karena terbukti tidak memenuhi syarat administratif, yakni pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih.

Selain itu, tindakan Dirwan yang berusaha menyembunyikan fakta ini, dianggap melanggar asas pemilu yang harus dijunjung tinggi, yaitu asas “jujur”. MK pun memerintahkan pemilihan ulang, dengan mengeluarkan pasangan tersebut dari kontestasi alias tidak lagi menjadi peserta.

Sejak saat itu, putusan diskualifikasi terus berulang dalam beberapa kasus lain, termasuk pada Pilkada Tebing Tinggi tahun 2010, Yalimo tahun 2020, Boven Digoel tahun 2020, dan Kotawaringin Barat tahun 2010.

Konsistensi MK dalam menegakkan prinsip hukum ini, menunjukkan komitmennya sebagai interpreter of constitution dan guardian of democracy.

LANDASAN HUKUM DISKUALIFIKASI PASLON

Sebagai penjaga konstitusi, MK memiliki kewenangan luas dalam menafsirkan hukum pemilu. Tidak jarang, Mahkamah memperluas cakupan kewenangannya dalam rangka memastikan keadilan substantif, termasuk mendiskualifikasi paslon meskipun itu tidak secara eksplisit diminta oleh pemohon.

Keputusan diskualifikasi dilakukan, ketika ditemukan adanya intolerable condition, yaitu kondisi yang tidak dapat ditoleransi dalam konteks demokrasi yang sehat—seperti pemalsuan dokumen, pelanggaran hukum pidana, atau intimidasi yang menciderai proses demokrasi.

Beberapa kasus yang menjadi preseden penting dalam putusan diskualifikasi antara lain:

  1. Pilbup Bengkulu Selatan 2008
  • Paslon Dirwan Mahmud didiskualifikasi, karena tidak memenuhi syarat administratif terkait status hukum sebagai mantan terpidana. Pemilu diulang tanpa partisipasi paslon tersebut.
  1. Pilkada Kota Tebing Tinggi 2010
    Calon wali kota H. Mohammad Syafri Chap dinyatakan tidak memenuhi syarat karena sedang menjalani masa percobaan atas kasus pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Perolehan suaranya dinolkan dan pemilu diulang.
  2. Pilbup Yalimo 2020
    Paslon Erdi Dabi dan John Wilil didiskualifikasi, karena tidak memenuhi syarat jeda lima tahun bagi mantan terpidana. MK memerintahkan pemungutan suara ulang.
  3. Pilbup Boven Digoel 2020
    Yusak Yaluwo yang merupakan mantan terpidana korupsi, tidak memenuhi syarat untuk maju, sehingga MK memerintahkan pemungutan suara ulang.
  4. Pilbup Kotawaringin Barat 2010
    Paslon Sugianto-Eko Soemarno didiskualifikasi, karena terbukti melakukan intimidasi dan teror terhadap pemilih. MK menyatakan perolehan suara mereka tidak sah dan kemenangan mereka dibatalkan.

Dalam seluruh putusan tersebut, MK berpegang pada prinsip, bahwa pemilu tidak hanya berkaitan dengan penghitungan suara, tetapi juga harus menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepatuhan terhadap aturan.

PROSPEK PERMOHONAN PASLON BERAMAL

Kini, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana prospek permohonan sengketa Paslon Beramal, jika Rusdy Mastura termasuk Reny Lamadjido, terbukti melanggar Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Pemilu?

Jika Mahkamah tetap konsisten dengan putusan sebelumnya, terdapat dua kemungkinan putusan yang dapat dijatuhkan:

  1. Diskualifikasi Paslon
    Jika terbukti persyaratan calon tidak terpenuhi, maka MK dapat:
  • Membatalkan penetapan paslon nomor urut 2 dan 3.
  • Membatalkan hasil rekapitulasi suara yang telah diputuskan KPU.
  • Memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh wilayah Sulteng, dengan mengeluarkan paslon yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.
  • Memberi kesempatan kepada calon lain untuk mendaftar selama memenuhi syarat yang ditetapkan.
  1. Nondiskualifikasi dengan PSU Terbatas
    Jika pelanggaran dianggap tidak signifikan secara substansial, maka MK dapat:
  • Memerintahkan PSU secara terbatas di wilayah tertentu, yang terdampak pelanggaran.
  • Memberikan peringatan kepada penyelenggara pemilu, untuk memperbaiki pelaksanaan tahapan berikutnya.

Kedua skenario ini, bergantung pada sejauh mana bukti yang diajukan di persidangan dan pertimbangan Mahkamah dalam menilai dampak pelanggaran terhadap hasil pemilu secara keseluruhan.

Dengan demikian, diskualifikasi paslon peraih suara terbanyak, merupakan langkah tegas MK untuk menjaga integritas pemilu dan mencegah praktik curang yang dapat merusak demokrasi. Dalam sejumlah kasus sebelumnya, Mahkamah telah menunjukkan konsistensinya dalam menindak pelanggaran serius yang berpotensi menciderai keadilan pemilu.

Apakah MK akan mengambil langkah serupa dalam sengketa Pilgub Sulteng 2024? Semua mata kini tertuju pada Mahkamah, yang diharapkan tetap teguh dalam menjaga demokrasi yang jujur dan adil bagi seluruh rakyat. (*)

Oleh: Fransiscus Manurung
Tim Hukum Paslon Beramal

Silakan komentar Anda Disini….
Kolom Anda

Suatu hari saya diundang sarapan pagi oleh seorang produser film tanah air. Ia mengatakanfilmnya berhenti di tengah jalan gara-gara pemeran utamanya meninggal. Dia meminta bantuansaya, dengan artificial intelligence (AI) tentunya, bisa membuat wajah dan suaranya dihidupkankembali. Saya mengatakan secara teknis bisa, karena AI sudah bisa masuk mengganti perandengan face swapper dan suara melalui sintesa suara yang sudah 90 persen mirip. Cerita di atas hendak menjelaskan bahwa industri konten, film dan televisi hari ini paling terdisrupsi oleh…