Tutup
Kolom Anda

Politik Intelek, Jejak Ichan

36
×

Politik Intelek, Jejak Ichan

Sebarkan artikel ini
Ichsan Loulembah

INI bulan Rajab. Bulan baik, sebagai “bulan menjemput bulan mulia” Ramadhan. Hal ini menstimulir untuk menulis tentang seorang yang baik. Tentang M. Ichsan Loulembah. Saya hanya akan mengatakan dua kata: Politik Intelek. Dua kata yang sepintas mengawali yang profan (Politik), dan sakral (Intelek) –istilah yang digunakan utk menggambarkan sesuatu yang tidak dianggap sakral atau religious, dan hal-hal yang dikaitkan dengan tujuan keagamaan.

Apa yang menjadi “jejak itelektual” sosok komunikator handal, humble, humanis, silent philanthrop? Yang kemudian merangkum “obsesi intelektualnya” pada jalur politik. Pada sekian banyak kata yang tersemat pada allahyarham Muhammad Ichsan Loulembah, semua mewakili kata-kata yang baik.

Advertising

Dengan capaian politiknya melalui kontestasi, Ichan satu periode (2004-2009). Sebagai mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009 dapil Sulawesi Tengah, M Ichsan Loulembah meninggal jejak berupa “politik intelek”.  Jejak intelektualitas Ichan ditebarkannya melalui banyak wahana: forum ilmiah, talkshow, buku, keterangan  pers, podcast,sejumah wawancara, bahkan training-training formal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang dilibatinya semasa kuliah, dan beberapa kali Ichan menghadiri acara training yang diselenggarakan adik-adik angkatannya.

Bisa dikatakan, masa kuliah menjadi masa menyiapkan Langkah strategis Ichan dalam menapaki dunia professional, untuk kemudian membekalinya menyeriusi “jalan politik intelek” yang ia bangun sejak kuliah. Lalu apa “buah” jejak politik intelek itu? Bisa dikatakan, saat secara meyakinkan dalam pemilihan ketua HMI cabang Palu mengamahkan jabatan sebagai Ketua Umum HMI Cabang Palu, saat itu tapak karir politik intelek kuat dalam perjalanan hidupp Ichan. Ichan telah secara sah dan meyakinkan, setidaknya para calon pemilih muda Palu sebagai young vooters –kendati saat itu ‘hanya sebagai bayang-bayang’. Keterpilihan Ichan sebagai ketua umum HMI Cabang Palu (periode 1987-1988) modal nyata yang secara historis menorehkan jalan politik intelek Ichan.

Ichan dan Radio

Sebagai professional muda saat itu, Ichan sudah memiliki political savvy (kecerdasan politik) sehingga menjadikannya cakap memainkan mindset pendengarnya yang orang-orang muda Radio Nebula FM Palu (pada masanya, Nebula menjadi duplikasi radio Prambors di Jakarta). Maka ketika hijrah ke Ibukota dan menjadi penyiar di Radio Tri Jaya FM Jakarta, tone gaya siarnya tak berubah drastis, tetap enak didengar. Dan Ichan tetap mengikuti kebaruan gaya siar dan teknologinya, sehingga secara sadar “ideologi komunikasinya” sulit membuatnya pindah jalur, sehingga “mewariskan Good Radio Jakarta, secara formal kepada putranya. Allah memanggilnya pulang lebih dini sebelum melihat radio yang dirintisnya mulai menjadi sesuatu yang menancap di telinga publik.

Baginya, dengan jejak intelektual berupa konsep pengelolaan radio, tentu telah Ichan kuasai. Sedangkan di ranah media cetak, melenyapnya media cetak berangsur menjadi media on line, masih Ichan ikuti vibrasinya, tetapi bentuk publikasi serius dan cenderung elitis seperti menghasilkan buku, masih menjadii concern Ichan, di mana Ichan meninggalkan kader-kader jurnalis, kolumnis, “jurnalis radio dan televisi”. Melihat rekam jejak Ichsan, seakan menunjukkan sejumlah hal sebagai sample intelektualitasnya., sekaligus legacy Ichan bagi generasi muda.

Ichan dan Diaspora

Sebagai kelebihan Ichan yang lain, kepeduliannya yang relatif intens dengan diaspora Sulteng di Jakarta. Mereka memiliki keterikatan yang tinggi satu sama lain, dan Ichsan sendiri tetap dengan kekhasannya: humble, hangat, dekat, untuk kemudian disederhanakan dengan kepedulian. Perilakunya yang silent philantrop -membuat sang istri kurang sedang memamerkan kedermawanan, memang mengesankan. Tak berlebihan jika masyarakat Sulteng sendiri mendudukkannya sebagai Dewan Pembina di Ikatan Keluarga Diaspora Sulawesi Tengah (IKDST), sebuah wadah perkumpulan masyarakat diaspora Sulteng yang ada di Jakarta.

Ini seakan ‘isyarat langit’ bahwa kepulangan Ichan telah berhasil “merayu penduduk surga” menjadi komunitasnya. Jelas, perbuatan Ichan sebagai manusia, beyond. Pantas sejumlah orang yang menawarkannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak ditolaknya secara gamblang. Tapi justru  mereka yang tadinya mendorongnya untuk S2 bahkan sampai doktoral, malu sendiri. Mereka berkutat di ranah yang sempit, sementara Ichan telah jauh melesat melintas jagat keberagaman.

Atribut yang bisa disebut orang semasa hayat Ichan memang hanya penanda keberadaan sekaligus kebermanfaatan. Hadits Rasul menyebutkan, khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.

Dengan berbagai posisi dan jabatan yang pernah diemban Ichan semasa hidupnya tersebut, memberikan gambaran betapa besarnya dedikasinya Almarhum dalam pengabdian kepada masyarakat dan bangsa. Suatu ketika terkait dorongan kepadanya, mengapa Ichan tidak melanjutkan Pendidikan dan hanya S1? Dia jawab dengan retoris,”Arbi Sanit, yang kerap diminta pendapat tentang banyak hal, juga hanya sarja S1, tetapi sudah menulis banyak buku dan menjadi rujukan ilmiah!” Begitu respons Ichan [tanpa meneruskan kalimatnya….,”sementara yang menyuruh sekolah tinggi-tinggi, thesis atau disertasinya menjadi karya ilmiah satu-satunya….” [itu ungkan dalam hati saya saja].

Sikap Ichan yang “bertahan sebagai lulusan S1” itu, mengingatkan saya tulisan lama saya mengenai pendiri Al-Khairat, Guru Tua. Saat beliau ditanya, mengapa tidak menulis kitab? Dengan lembut Sembari berdiri di depan perguruan Al-Khairat, beliau menjawab dengan lembut tetapi mantap, memandang bangunan (awal) Al-Khairaat,” Hadzihi kutubi, inilah kitab-kitabku.” Kata beliau seraya menunjukkan hamparan bangunan perguraan AL-Khairaat.

Bagai meneladani Guru Tua, buatnya, sekolah formal sampai perguruan tinggi ia imbangi dengan kebermanfaatan bukan dibangku perguruan tinggi, tetapi di lapangan pengabdian nyata. Bukan sekadar menulis, tetapi berkarya nyata, dengan perbuatan. Menjalin relasi sosial konkret, amal sosial termasuk menggerakkan komunitas di banyak tempat. Termasuk lewat siaran radio dan televisi. Ichan telah tiada, tetapi keteladanan menjadi praktik nyata kehidupan, yang tergurat kuat pada sejarah hidupnya.***

 Iqbal Setyarso, Mantan Vice President ACT (2011-2019), Penasihat Indonesia Care Foundation, Jakarta, Pemimpin Redaksi Filantropi

Silakan komentar Anda Disini….
Kolom Anda

Suatu hari saya diundang sarapan pagi oleh seorang produser film tanah air. Ia mengatakanfilmnya berhenti di tengah jalan gara-gara pemeran utamanya meninggal. Dia meminta bantuansaya, dengan artificial intelligence (AI) tentunya, bisa membuat wajah dan suaranya dihidupkankembali. Saya mengatakan secara teknis bisa, karena AI sudah bisa masuk mengganti perandengan face swapper dan suara melalui sintesa suara yang sudah 90 persen mirip. Cerita di atas hendak menjelaskan bahwa industri konten, film dan televisi hari ini paling terdisrupsi oleh…