JAKARTA, Kabar Selebes – Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dengan dukungan UNESCO menyelenggarakan diskusi bertajuk “Peran Media dalam Pilkada 2024” pada Kamis, 14 November 2024. Diskusi yang berlangsung di Jakarta ini dihadiri lebih dari 120 peserta, termasuk pemimpin media, jurnalis, akademisi, dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Kegiatan ini sekaligus memperingati Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis yang diperingati pada 2 November lalu.
Diskusi ini merupakan bagian akhir dari program #SocialMedia4Peace, yang didukung UNESCO dan didanai oleh Uni Eropa. Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, dalam sambutannya menekankan pentingnya jurnalisme berkualitas, terutama dalam peliputan Pilkada. “Alasan berdirinya AMSI tujuh tahun lalu adalah untuk mendukung perusahaan media memproduksi konten jurnalistik berkualitas. Program ini penting sebagai upaya AMSI membantu anggota dalam menghadapi isu-isu sensitif konflik selama Pilkada,” ujarnya.
Stephane Mechati, Wakil Kepala Misi Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, menggarisbawahi peran media dalam menjaga demokrasi. “Media adalah pilar penting demokrasi. Saat ini, demokrasi menghadapi tantangan global seperti populisme, rasisme, dan islamofobia. Jurnalis harus terus menjadi pembela hak asasi manusia melalui profesionalisme,” katanya.
Maki Katsuno-Hayashikawa, Direktur UNESCO Regional Jakarta, menjelaskan bahwa UNESCO memiliki mandat untuk mempromosikan kebebasan pers dan keselamatan jurnalis. Ia memaparkan bahwa pelatihan untuk meningkatkan kapasitas jurnalis telah dilakukan di Banda Aceh, Jakarta, dan Manado, dengan fokus pada isu-isu sensitif terkait Pilkada, seperti disinformasi, ujaran kebencian, hingga teknik debunking deep fake.
Pada sesi diskusi, tiga peserta fellowship AMSI berbagi pengalaman mereka. Adhitya Widya Putri dari Deduktif.id menceritakan penelitiannya tentang dinasti politik di Banten. “Wilayah yang dipimpin dinasti politik umumnya memiliki tingkat kemiskinan tinggi dan korupsi. Meskipun begitu, selama peliputan, saya tidak menghadapi ancaman,” katanya.
Nova Misdayanti Mandasari dari Catat.co (Aceh) dan Marshal Datundugon dari Zonautara.com (Manado) juga membahas pengalaman mereka meliput isu identitas ganda dan kelompok marjinal.
Sesi kedua diskusi menghadirkan narasumber seperti Elin Yunita Kristanti (Pemimpin Redaksi Liputan6.com) dan Totok Suryanto (Anggota Dewan Pers). Mereka mengingatkan pentingnya menyelesaikan sengketa pers secara beradab melalui Dewan Pers, bukan kepolisian. Diskusi ditutup dengan mini workshop tentang keamanan fisik dan digital bagi jurnalis yang dipandu oleh Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Program ini memberikan beasiswa peliputan kolaboratif kepada 23 jurnalis dari berbagai daerah, yang hasil liputannya telah dibukukan dan diluncurkan dalam acara ini. Adhitya Widya Putri mengapresiasi kegiatan ini. “Harapan saya, AMSI dan UNESCO dapat terus mendukung peliputan isu sensitif konflik di masa depan,” ujarnya.
Diskusi ini menjadi bukti komitmen AMSI dan UNESCO untuk meningkatkan kapasitas media dalam menjaga demokrasi, terutama menjelang Pilkada 2024.