JOGJA, Kabar Selebes – Kasus korupsi yang melibatkan Mardani Maming kembali menjadi sorotan, kali ini dari kalangan akademisi yang menilai bahwa sejak awal penanganan kasus tersebut bermasalah.
Dalam acara “Bedah Buku Mengungkap Kesalahan & Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H. Maming” yang diselenggarakan oleh Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, sejumlah akademisi mengungkapkan pandangan kritis mereka terhadap kasus ini.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa terdapat delapan kekeliruan dalam penanganan kasus Maming. Salah satu kekeliruan utama, menurut Romli, adalah terkait moral. “Kalau delapan kekeliruan, apakah itu masih disebut kekeliruan atau sudah menjadi kesesatan? Menurut saya, ini sudah di luar norma, terutama dari segi moral. Tidak boleh ada kezaliman dalam penegakan hukum,” ujar Romli usai acara pada Sabtu (5/10/2024).
Romli menegaskan bahwa kasus ini seharusnya dihentikan sejak awal, mengingat fakta-fakta hukum yang tidak jelas dan kabur. Namun, proses penyidikan terus dilanjutkan dengan penggunaan pasal yang dinilai tidak tepat. “Pembuktian yang sulit malah dialihkan ke Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, supaya lebih mudah menuduh,” katanya.
Ia menambahkan, seharusnya penyidikan kasus ini dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), tetapi KPK memilih melanjutkannya. “Seharusnya kalau susah membuktikan, ya hentikan dengan SP3. Tapi KPK beralasan tidak bisa SP3, padahal bisa saja dilimpahkan ke Kejaksaan,” tegas Romli.
Romli juga mencurigai adanya motif politik di balik kasus ini. Menurutnya, hukum seolah-olah dipaksakan berlaku hanya untuk memenuhi kepentingan tertentu. “Kalau jaksanya tidak benar, polisinya tidak benar, tapi kalau hakimnya tegak lurus tidak ada masalah. Sayangnya, di sini semuanya tidak sesuai,” tambahnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, turut menegaskan pentingnya eksaminasi akademisi terhadap putusan hakim. Menurutnya, putusan pengadilan memang selalu berpotensi mengandung kekeliruan. “Eksaminasi oleh akademisi penting karena selalu ada kemungkinan kekhilafan hakim, seperti yang menjadi alasan dalam Peninjauan Kembali (PK),” ungkap Topo.
Topo berharap, kritik yang disampaikan oleh para akademisi dapat menjadi bahan evaluasi bagi para penegak hukum, termasuk hakim. “Upaya kritis seperti eksaminasi dan anotasi terhadap putusan harus diterima oleh kalangan peradilan untuk meningkatkan kualitas keadilan,” tutupnya.
Kasus Mardani Maming
Mardani Maming, mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan Bupati Tanah Bumbu, divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Banjarmasin atas kasus suap terkait penerbitan SK Pengalihan IUP OP dari PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN). Maming dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Tak puas, Maming mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banjarmasin, namun hukumannya malah diperberat menjadi 12 tahun penjara. Ia kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), namun kasasi tersebut ditolak. Selain hukuman penjara, Maming juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp110,6 miliar subsider 4 tahun penjara.
Mardani Maming kini tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan nomor 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2004 di Mahkamah Agung. Majelis hakim yang menangani PK tersebut dipimpin oleh DR. H. Sunarto, SH. MH.