Tutup
Kolom Anda

Kolom Anda : Kasus HIV/AIDS Meningkat, Butuh Solusi Komprehensif

×

Kolom Anda : Kasus HIV/AIDS Meningkat, Butuh Solusi Komprehensif

Sebarkan artikel ini
Sukmawati, S.M

Oleh : Sukmawati, S.M

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Palu, Sulawesi Tengah, melaporkan ada 220 warga setempat yang terkena penyakit HIV-AIDS. Ketua Pelaksana KPA Palu, Riki B Muh Lahiya, mengatakan data tersebut merupakan rangkuman dari Januari hingga Desember 2022. “Dari 220 itu, 184 orang HIV, 21 orang AIDS, dan 15 orang lainnya meninggal dunia,” kata Riki di Palu, Minggu, 9 Juli 2023.

Advertising

Riki menjelaskan data yang dilaporkan pihaknya itu baru sebatas data 2022, sedangkan untuk data 2023 masih berjalan pendataannya di lapangan. “Ketika rampung hasil pendataannya akan kami sampaikan juga pada 2024 mendatang,” jelasnya.

Riki menjelaskan jika dilihat berdasarkan pekerjaan, warga yang mendominasi terkena HIV-AIDS 2022 di Palu berasal dari kalangan pekerja swasta dengan jumlah terkena HIV-AIDS sebanyak 88 orang. Setelah itu dari kalangan mahasiswa 35 orang, Ibu Rumah Tangga (IRT) 14 orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 9 orang, dan narapidana 3 orang.(Metrotvnews)

Hingga saat ini, perilaku homoseksual atau lelaki seks dengan lelaki (LSL) masih menjadi penyumbang terbesar penyakit HIV/AIDS. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Wakil Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Sulteng Alfina A. Deu, tahun 2022 kasus HIV 67 persen LSL, tahun 2023 LSL mengalami penurunan hingga 57 kasus. “Di bandingkan triwulan pertama 2022 dengan triwulan pertama 2023, orang dengan HIV berdasarkan populasi kunci atau Popkun di Sulteng (populasi kunci sebagai kelompok masyarakat yang tidak mudah dijangkau ), kasus HIV tidak mengalami perubahan yang banyak seperti tahun 2022 kasus HIV 67 persen terjadi pada lelaki seks dengan lelaki/LSL, tahun 2023 LSL Mengalami penurunan hingga 57 kasus,” katanya kepada media alkhairaat, dalam rilisnya, Kamis (13/7).

Namun fakta menarik dari rilis ini, tahun 2022 hanya 13 persen waria mengalami HIV. Sedangkan tahun 2023 kasus HIV pada waria menurun hingga 6 persen. Artinya, dari pasangan LSL penyakit itu menimpa lebih banyak kepada mereka yang tampak normal. Adapun HIV terjadi pada pekerja seks (PS) 13 persen tahun 2022 sementara 2023 mengalami penurunan hingga 5 persen. Kemudian, pasangan risiko tinggi (Risti) 13 persen begitu pula tahun 2023 masih berada pada angka 13 persen.

“Untuk pasangan risiko tinggi tahun 2022 mencapai 2 persen dan tahun 2023 mencapai 13 persen,” terang Alfina A. Deu. Untuk berdasarkan umur HIV diidap 61 persen dari golongan umur 25-49 tahun, 27 persen usia 20-24 tahun, 3,8 persen usia 15 tahun, 1,5 persen golongan usia 5-14 tahun dan 1,5 persen terdapat pada usia 4 tahun.

Praktisi kesehatan, dr. Faizatul Rosyidah menyampaikan bahwa tidak bisa dinafikan kemunculan dan penularan HIV/AIDS sangat erat kaitannya dengan penyimpangan perilaku yang dilakukan manusia, terutama perilaku seksual bebas seperti bergonta-ganti pasangan seksual atau perilaku homoseksual.

Sebelum pola penularan yang lebih kompleks dan beragam sebagaimana yang kita jumpai hari ini hingga menginfeksi komunitas yang bahkan tidak melakukan perilaku beresiko seperti bayi dan anak-anak, dalam sejarahnya, terdapat tiga pola penularan di awal penyebaran HIV/AIDS ke seluruh dunia. Pola pertama ditemukan di kalangan homoseksual dan pecandu obat bius. Ini terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan sebagian Amerika. Pola kedua, ditemukan di kalangan heteroseksual di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Timur, dan beberapa daerah Karibia. Kasus AIDS di daerah ini sejalan dengan perubahan sosial dan maraknya prostitusi yang terjadi.

Pola ketiga ditemukan di Eropa Timur, daerah Mediteranian Selatan, dan Asia Pasifik. Di sini penularan terjadi melalui kontak baik homoseksual dan heteroseksual. Di Indonesia sendiri, imbuhnya, kasus HIV/AIDS pertama ditemukan pada wisatawan homoseksual di Denpasar, Bali. Sehingga bisa dikatakan, makin menyebar dan sulitnya mengendalikan penularan infeksi HIV/AIDS hari ini adalah spiral effect akibat tidak kuatnya strategi penanganan yang selama ini diambil.

Kapitalisme Sekuler Penyebab Kegagalan Penanganan HIV/AIDS

Tingginya angka dan semakin meluasnya penularan HIV/ AIDS di tengah- tengah masyarakat menunjukan bahwa sistem kapitalis saat ini telah gagal mewujudkan kesehatan masyarakat. Sistem kapitalisme yang dibangun diatas asas sekulerisme dan liberalisme memandang HIV/ AIDS hanya sebatas masalah kesehatan. Akibatnya Penanganan HIV/AIDS hanya bersifat parsial dan tambal sulam, tidak pernah menyentuh sampai pada akar permasalahannya.

Liberalisme jugalah yang menyebabkan penyimpangan perilaku seperti pekerja seksual, bergonta-ganti pasangan seksual, homoseksual, dan penyalahgunaan NAPZA dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Pembenaran terhadap sebuah penyimpangan perilaku/kesalahan meniscayakan munculnya kerusakan. Seharusnya upaya yang dilakukan oleh negara adalah all out dalam mengupayakan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, sekaligus menutup celah muncul dan terpeliharanya’ penyimpangan perilaku tadi di tengah-tengah masyarakat, sembari melakukan penanganan yang tepat kepada mereka yang sudah terlanjur terinfeksi agar tidak menularkan kepada yang lain. Sayangnya ketegasan semacam ini adalah hal yang tidak akan mampu dilakukan oleh kebijakan berbasis paradigma sekuler liberal.

Sekulerisme dan liberalisme inilah yang meniscayakan negara pengusung liberalisme senantiasa mengambil kebijakan yang bersifat “jalan tengah.” Dalam paradigma sekuler liberal, kita tidak boleh melarang seseorang untuk tidak bergonta-ganti pasangan atau membatasi orientasi seksualnya agar tidak kepada sesama jenis dengan alasan hal itu adalah perbuatan menyimpang dan akan menyebabkan ia beresiko terkena infeksi menular seksual. Sebab, kebebasan seksual ini adalah bagian dari kebebasan individu yang harus dijamin.

Karakter kebijakan “jalan tengah” pada sistem berbasis paradigma sekuler liberal ini adalah tidak menghukumi mana yang benar sehingga harus dibela, dan mana yang salah sehingga harus dilarang. Apalagi kebebasan berperilaku adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dijaga, maka ia harus mengakomodasi dua kutub tersebut tanpa harus ada kejelasan sikap tentang benar atau salah.

Sekulerisme liberalisme itulah yang menyuburkan gaya hidup bebas tanpa aturan benar salah dan baik buruk dari agama. Sekularisme menganggap bahwa agama harus ditinggalkan dalam berinteraksi sosial karena dianggap berisi dogma dan aturan-aturan yang mengekang. Sekularisme kapitalisme memprioritaskan kesenangan duniawi dan modal (kapital). Dengan paradigma ini, terciptalah suasana atau lingkungan yang mendukung kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang sukanya bersenang-senang, memuaskan nafsu birahi, dan sejenisnya, asalkan bisa mendatangkan uang. Gonta-ganti pasangan tanpa ikatan pernikahan pun makin marak.

Akibat sistem busuk inilah, tidak heran seks bebas makin merajalela dan HIV/AIDS makin terbuka peluang untuk terus menyebar. Selain itu, gaya hidup hedonis juga mendukung gaya hidup bebas ini. Dengan suasana dan sistem yang seperti ini, apakah mungkin HIV/AIDS bisa terberantas hingga ke akarnya? Disisi yang lain kapitalisme menyebabkan Negara berlepas tangan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat termasuk kesehatan. Akibatnya kesehatan yang menjadi kebutuhan pokok masih sangat sulit diakses oleh masyarakat, sebagai contoh belum semua pengidap HIV/ AIDS mendapatkan ARV yang saat ini menjadi satu- satunya obat yang dipercaya dapat menekan/ memperlambat perkembangan virus HIV. Sulitnya akses kesehatan ini disebabkan karena tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan dalam sistem kapitalisme.

Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia secara umum mengadopsi strategi yang digunakan oleh UNAIDS dan WHO tidak terkecuali di Sulawesi Tengah. (Kedua lembaga internasional ini menetapkan beberapa langkah penanggulangan HIV/AIDS, antara lain: kondomisasi, Subsitusi Metadon dan Jarum Suntik Steril. Dalam pelaksanaannya upaya penanggulangan HIV/AIDS versi UNAIDS ini telah menjadi kebijakan nasional yang berada di bawah Lembaga KPAN).

Berbagai solusi dan penanganan yang dilakukan oleh UNAIDS pada faktanya justru makin memperburuk keadaan. Anjuran seks aman, setia pada pasangan dan sebagainya sangat kental dengan liberalisme justru memberikan ruang yang luas bagi perilaku seks menyimpang seperti LGBT dan free sex yang menjadi penyebab utama munculnya HIV/ AIDS. Dengan demikian alih- alih mengatasi permasalahan penyebaran HIV/AIDS, kasus HIV/AIDS justru semakin tinggi setiap tahunnya.

Islam Menuntaskan HIV/ AIDS Secara Komprehensif

Fenomena tingginya angka HIV/ AIDS ini adalah cerminan rusaknya peradaban kapitalisme sehingga perlu adanya solusi yang komprehensif. Islam sebagai dien yang kamilan wa syamilan adalah solusi satu- satunya untuk menyelesaikan masalah tingginya angka HIV/AIDS. Sistem Islam sangat menjaga agar manusia senantiasa berada dalam perilaku mulia dan memuliakan. Hal yang menyimpang tidak akan mendapat ruang dalam kehidupan dan akan mendapat sanksi yang tegas atas pelanggarannya. Islam tidak memandang HIV/ AIDS sebagai masalah kesehatan belaka. Namun dipandang sebagai suatu permasalahan yang terkait dengan tata kelola dan sitem peraturan yang lain. Syariat Islam memberikan solusi tuntas dan komprehensif dalam permasalahan ini melalui tiga pilar penjaga, pilar pertama ketakwaan individu.

Seorang yang bertakwa tentu akan berusaha menjaga dirinya dari perbuatan yang menyimpang dari syariat. Keimanan yang kokoh kepada Allah, Malaikat, hari Akhir akan menjadi penuntun untuk senantiasa berada di jalan kebaikan terutama ketika terjun di tengah- tengah masyarakat. Pilar kedua adalah kontrol masyarakat berupa tradisi amar makruf nahi mungkar. Dalam sistem Islam, tradisi ini demikian kental sehingga perilaku menyimpang dan segala bentuk kemaksiatan tidak akan tersebar luas, bahkan akan tereliminasi dengan sendirinya. Pilar ketiga adalah support sistem oleh negara, yaitu melalui penerapan aturan Islam secara menyeluruh. Negara wajib menetapkan strategi penanganan HIV AIDS ini dengan merujuk pada tuntunan Islam, baik kebijakan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif.

Kebijakan promotif adalah dengan melakukan edukasi dan meng-install pemahaman hingga membentuk pola perilaku yang benar sesuai tuntunan Islam, baik disampaikan melalui pendidikan di rumah, sebagai satu kesatuan dengan kurikulum sistem pendidikan formal yang ada, maupun melalui sistem media yang dimiliki negara. Pemahaman yang benar ini akan menjadi pencegah jatuhnya seseorang pada perilaku menyimpang dan beresiko tertular dan menularkan HIV/AIDS.

Kedua, kebijakan preventif bertujuan memutus mata rantai penularan HIV/AIDS dengan memastikan perilaku menyimpang dan beresiko seperti praktik prostitusi, L687Q, dan lainnya dihentikan (tidak lagi boleh sama sekali dilakukan), dalam hal ini negara menerapkan sistem sanksi Islam yang tegas. Spektrum strategi yang bersifat preventif ini bersifat luas, tidak hanya sebatas memberikan seruan atau nasihat tanpa konsekuensi sebagaimana yang terjadi saat ini. Namun, termasuk di dalamnya adalah juga  melarang secara tegas laki-laki dan perempuan berkhalwat ataupun perilaku mendekati zina lainnya, melarang melakukan zina, mengharamkan seks menyimpang, mengharamkan laki dan perempuan melakukan hal yang merusak masyarakat seperti pornografi dan pornoaksi serta mengharamkan khamar dan seluruh benda yang memabukkan/menghilangkan akal, seperti narkoba, mewajibkan amar makruf nahi mungkar dan mewajibkan negara memberi sanksi yang tegas bagi para pelaku penyimpangan/tindak criminal.

Ketiga, kebijakan kuratif dilakukan dengan memberikan nasihat tentang tobat nasuha yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku kemaksiatan. Kebijakan kuratif bertujuan agar para pelaku kemaksiatan berhenti dari melakukan perilaku beresikonya. Selain itu juga memberikan hak mereka untuk membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan, yaitu rajam bagi para pezina yang sudah menikah dan cambuk 100 kali dan diasingkan 1 tahun bagi yang belum menikah, menghukum mati para pelaku gay/homoseksual, termasuk hukuman lain yang menjerakan bagi semua pihak yang terlibat dalam terjadinya penyalahgunaan narkoba. Sedangkan, bagi mereka yang tertular dan sakit karena hal lain, bukan karena melakukan penyimpangan perilaku, seperti tertular saat tranfusi darah, tertular dari suami, dan lainnya, berhak untuk mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan terbaik.

Negara boleh mengadopsi hasil teknologi dan penemuan- penemuan terbaru terkait dengan kesehatan dari negara lain, namun negara juga harus tetap mengupayakan agar penyelesaian penyelesaian penyakit menular (HIV/AIDS) tidak tergantung sepenuhnya pada negara lain. Oleh karena itu negara harus melakukan riset yang mendalam untuk menemukan solusi terbaik. Riset- riset ini dibiayai sepenuhnya oleh negara, dimana salah satu sumber pembiayaannya adalah dari pengelolaan SDAE. Kebijakan-kebijakan ini tentu saja tidak dapat berdiri sendiri, namun harus didukung penuh oleh kebijakan-kebijakan yang lain seperti kebijakan politik ekonomi, pendidikan, sosial dan hukum. Dan harus digaris bawahi tidak ada satupun sistem yang dapat memberikan solusi yang komprehensif selain sistem islam. Maka penerapan sistem islam secara menyeluruh menjadi kebutuhan yang sangat urgen dan darurat untuk menyelesaikan permasalahan umat.**

*Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi

Silakan komentar Anda Disini….