JAKARTA, Kabar Selebes – Pemerintah pada Rabu (23/11) mengatakan akan memulai vaksin booster kedua untuk orang lanjut usia pekan depan menyusul peningkatan kasus COVID-19 sejak bulan lalu, yang didominasi oleh sub varian baru Omicron.
Pemerintah melaporkan 7.200 kasus COVID-19 baru dan 51 kematian pada Rabu. Kasus harian terus meningkat dari sekitar 1.000 pada 9 Oktober.
“Dengan mempertimbangkan tingginya risiko kasus COVID-19 berat pada kelompok lansia dan rekomendasi dari Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (ITAGI), maka diperlukan upaya untuk memberikan vaksinasi booster ke-2 bagi lansia,” demikian bunyi surat edaran Kementerian Kesehatan seperti dilansir dari benarnews.org.
Pemberian vaksinasi COVID-19 dosis booster kedua tersebut diberikan enam bulan sejak vaksinasi dosis booster pertama disuntikkan, kata Kementerian.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan booster kedua tersebut dilakukan karena adanya sub-varian baru dan potensi peningkatan kasus ke depan.
“Persiapan minggu ini, diharapkan paling lambat minggu depan (warga) sudah bisa datang ke faskes terdekat dan sentra layanan vaksin,” ujarnya kepada BenarNews.
Nadia menambahkan, dari pasien yang dirawat per tanggal 4 Oktober – 21 November di seluruh Indonesia, data menunjukkan 57 persen kasus kematian diantaranya merupakan lansia.
“Resikonya besar untuk lansia, potensi tertular terhadap sub-varian baru lebih besar, dan berpotensi menimbulkan kematian terutama terhadap yang memiliki riwayat penyakit komorbid dan belum divaksin,” kata dia.
“Capaian vaksin yang masih rendah juga membuat perlindungan terhadap kelompok rentan semakin rendah karena imunitas kelompok tidak tercapai,” kata dia.
Sebelumnya, pemerintah telah memulai booster kedua kepada tenaga kesehatan pada Juli.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pemerintah baru memberikan vaksin booster pada 66,3 juta orang atau sekitar 28 persen. Sedangkan jumlah booster kedua mencapai 734 ribu, mayoritas diberikan untuk petugas medis.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Reisa Broto Asmoro, mengatakan selain sub-varian Omicron yang dikenal sebagai XBB yang telah terdeteksi di Indonesia, pemerintah juga memantau sub-varian baru lainnya yaitu BA.2.75 dan BQ 1, karena telah banyak ditemukan di Indonesia.
Kasus aktif saat ini berjumlah 62.196 dan 159.473 orang telah tercatat meninggal dunia sejak kasus COVID-19 pertama ditemukan Maret 2020, menurut data pemerintah.
Keterisian rumah sakit di tingkat nasional juga mengalami kenaikan dalam seminggu terakhir sebesar 7,02 persen.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta, Dwi Oktavia mengatakan Jakarta merupakan penyumbang kasus terbesar angka pasien COVID-19 dengan 2000-an kasus per harinya atau 37 persen kasus nasional dengan kasus aktif 22.500 pasien.
“Ini meningkat dibandingkan dengan kondisi beberapa bulan lalu. Kondisi peningkatan kasus COVID-19 tak hanya terjadi di Jakarta tapi di kota-kota lainnya,” kata dia.
Sementara angka keterisian rumah sakit di Jakarta masih berkisar 35 persen untuk ruang isolasi dan 28 persen untuk perawatan intensif, kata Dwi.
Koordinator Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Mintoro Sumego, mengatakan selama dua bulan terakhir terdapat peningkatan signifikan dalam keterisian tempat tidur walaupun masih tergolong rendah yaitu hanya 2,8 persen atau 102 pasien.
“Dibandingkan Oktober hanya 30 pasien. Banyak pasien memilih isolasi mandiri di rumah. Mayoritas pasien di Wisma Atlet 80 persen mengalami gejala ringan sisanya pasien dengan komorbid seperti diabetes melitus, hipertensi, obesitas atau lansia,” kata dia.
Belum perlu
Anggota Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Masdalina Pane, mengatakan booster dibutuhkan ketika didapatkan bukti kalau antibodi populasi turun dan target 70 persen vaksinasi tercapai.
Namun, lanjutnya, antibodi orang Indonesia masih terbukti tinggi sementara target vaksinasi belum tercapai. Indonesia tercatat sebagai negara terburuk capaian vaksinasi di Asia Tenggara setelah Myanmar.
“Tujuh puluh persen harusnya target Desember 2021, ini sudah mau setahun belum juga tercapai. Indikator lainnya juga seperti testing dan tracing tidak tercapai,” kata dia kepada BenarNews.
“Jadi sebaiknya fokus dulu ke situ baru bisa bicara booster. Booster juga seharusnya tidak wajib tapi disarankan. Kalau sekarang kan dipaksa, kalau gak booster tidak bisa naik pesawat, tidak bisa masuk mal,” kata Masdalina.
Sebaliknya, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan meskipun Omicron tidak ganas, namun booster diperlukan untuk mengurangi tingkat keparahan pada kelompok beresiko tinggi.
“Proteksi dari vaksin cukup efektif apalagi sudah di booster karena kemampuan XBB ini di atas Delta dalam menginfeksi orang,” kata dia.
Apalagi, katanya, banyak kasus yang tidak terdeteksi dan dilaporkan masyarakat sehingga tidak terhitung datanya.
“Mungkin ini menjadi pemicu bukan hanya adanya kematian tapi para calon penderita long COVID-19 dalam beberapa tahun ke depan dan menurunkan kualitas kesehatan manusia, Indonesia jadi negara sakit-sakitan,” kata dia.
“Puncaknya akan terjadi setelah Natal dan tahun baru karena aturan yang longgar dan lemahnya testing dan tracing,” ujarnya.
Pemerintah hingga saat ini masih menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 1 untuk wilayah Jawa dan Bali dengan sejumlah pelonggaran aturan seperti bekerja di kantor yang sudah boleh 100 persen, tidak ada aturan testing sebelum bepergian dan kapasitas pasar, supermarket, bioskop dan kafe 100 persen pengunjung. (BN)