PALU, Kabar Selebes – Cuaca sore di Kota Palu, Rabu (23/12/2020) mendung. Di bawah awan gelap penghujung Desember, berjejer puluhan tenda warna-warni milik pedagang di pasar dadakan sekitar kawasan jalan Miangas.
Lokasi yang tak jauh dari sungai Palu itu, tak seperti hari biasanya, jelang perayaan Natal dan tahun baru ramai dipenuhi warga berjualan.
Pasar dadakan atau pasar kaget jadi momentum sebagian masyarakat untuk meraup pundi-pundi rupiah. Sumarni (42) misalnya. Ditemani sang suami, Herman (49), dia rela jauh-jauh datang ke Palu dari Desa Maranata, Kecamatan Sigi Biromaru untuk menjual hasil perkebunan.
Ia bersama pedagang lain yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Sigi, sudah sejak tanggal 21 Desember memenuhi tanah lapang untuk berjualan. Di lapaknya tersedia pelbagai hasil kekayaan hutan, mulai dari daun pisang, bambu, anyaman ketupat, hingga Tanaman hias.
Jika perayaan besar Idul Fitri sebelumnya berjualan di Pasar Masomba, Kota Palu, perayaan Natal kali ini dia beralih untuk berjualan di tanah lapang pinggir jalan Miangas Palu.
“Satu hari ini sudah laku 50 ikat (anyaman ketupat),” tuturnya sembari asik merangkai daun kelapa menjadi anyaman ketupat. Satu ikat yang berisikan 10 buah ancaman ketupat dipatok harga sebesar Rp 5 ribu.
Memang anyaman ketupan yang paling dicari pembeli di pasar dadakan. Makanan tradisional, berupa Nasi yang dibuat di dalam kantong anyaman daun kelapa muda itu, selalu hadir di jamuan meja makan pada setiap perayaan.
Meski paling dicari, Mimianti (35) pedagang lainnya di tempat itu merasakan hal sebaliknya. Anyaman ketupat di lapaknya dalam sehari tak kunjung dijamah oleh pembeli.
“Belum laku-laku dari tadi,” keluh Mimianti yang mengaku baru pertama kali berdagang di pasar dadakan.
Ia sebelumnya hanya menjual hasil pertanian seperti ubi dan rica di pasar tradisional kota Palu. Menjelang perayaan besar dirinya kini mencoba keberuntungan dengan berdagang di pasar dadakan.
Selain menjual ketupat dia juga menjual daun pisang dan juga bambu potong. 6 buah ketupat dihargai senilai Rp 5 ribu. Sementara bambu harganya bervariasi. Mulai dari Rp 3 ribu per batang untuk ukuran besar, sedangkan 3 batang ukuran kecil dijual seharga Rp 5 ribu.
“Mau dilihat bagaimana hasilnya kalau berdagangan di sini,” kata dia.
Kurangnya pembeli diakui memang cukup dirasakan sebab adanya pandemi Covid-19. Beda layaknya pedagang tetap di pasar tradisional yang memiliki pelanggan tetap yang mempengaruhi tingkat penjualan.
Hal demikian juga cukup dirasakan oleh Sianah (43) warga Desa Petimbe, Sigi, yang sudah rutin berjualan di pasar dadakan. Baru kali ini dia merasakan kurangnya pembeli yang hadir. Padahal sebelumnya H-2 menjelang perayaan, lapaknya sudah banyak didatangi oleh pembeli.
Sianah bilang kurangnya pembeli di tahun ini dibanding sebelumnya disebabkan ancaman bertubi-tubi yang menimpa Palu dan sekitarnya. “Habis Gempa, mana lagi corona, jadi berkurang pembeli,” ujar dia.
Pun demikian dengan Sumarni, dia bilang tahun dulu dalam 3 hari menjual bisa meraup keuntungan mencapai Rp 1 juta rupiah. Akan tetapi setelah adanya corona kini dalam jangka waktu itu hanya mampu menghasilkan Rp 600 ribu.
“Ramai lagi pembeli dari tahun yang lalu, karena Covid-19 jadi sepi,” ujarnya.
Meski berbondong-bondong mencari pundi-pundi rupiah di tempat itu, pedagang tak mau kehilangan momen perayaan Natal setahun sekali. Sumarni bersama suaminya unat Kristiani hendak menutup sementara lapaknya agar bisa merayakan Natal di kampung halaman.
“Besok kita pulang dulu, ba natal dulu, habis natal baru kemari,” katanya. (ap/fma)
Laporan: Adi Pranata.