POSO, Kabar Selebes – Sulitnya mendapatkan fasilitas Hemodialisa bagi pasien cuci darah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) menjadi perhatian serius bagi siapa pun yang akan terpilih sebagai Bupati nanti.
Ketersediaan fasilitas kesehatan Hemodialisa, tentu menjadi harapan besar bagi puluhan pasien cuci darah beserta keluarganya yang terhimpun dalam suatu komunitas di Kabupaten Poso.
Harapan itu, menyusul adanya keluhan pasien cuci darah beserta pendampingnya yang sampai saat ini terpaksa harus pindah atau pulang pergi ke luar wilayah Poso untuk mencari rumah sakit yang menyediakan fasiltas pelayanan cuci darah.
Apalagi, semua pasien cuci darah sangat bergantung dengan mesin Hemodialisa untuk menggantikan fungsi ginjal seumur sisa hidup mereka.
Kepada KabarSelebes.id, Nasikin (38), bapak dari seorang anak berusia 10 tahun asal Kabupaten Poso mengaku sangat berharap adanya perhatian serius bagi siapa saja yang akan terpilih sebagai Bupati nanti.
Tidak hanya kepada anaknya, tetapi perhatian tersebut juga diberikan kepada pasien yang senasib dengan anaknya.
“Kira-kira 4 tahun lalu pernah ada berita di surat kabar, bahwa di Poso sudah akan ada fasilitas untuk melayani pasien cuci darah. Tapi, inilah kenyataannya,” keluh Nasikin.
Pria yang dulunya berprofesi sebagai pedagang bakso di Kabupaten Poso ini, mengaku kini harus kerja serabutan untuk menopang hidup di Palu serta memboyong isterinya demi menemani anak semata wayangnya itu.
Senada dengan itu, Wayan (51) yang merupakan suami dari salah seorang pasien cuci darah juga berharap agar tersedianya layanan Hemodialis di Kabupaten Poso.
“Saat ini di Sulteng yang saya tahu baru ada alat Hemodialis di Kota Palu, Luwuk, dan Parigi Moutong,” kaya Wayan yang merupakan warga asal Tambarana.
Ia mengatakan, dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, para pendamping dan pasien cuci darah memilih pulang dan pergi untuk mendapatkan fasilitas kesehatan Hemodialis.
Meskipun harus menempuh jarak yang sangat jauh dan resiko terpapar Covid-19, karena pasien cuci darah termasuk sebagai kelompok paling rentan.
“Yang paling sulit situasi seperti ini, sebagai pendamping kami harus melakukan tes dan mengurus surat keterangan sehat berulang-ulang,” katanya.
Sementara itu, Yolanda yang merupakan pendamping pasien cuci darah akibat hipertensi, yang tak lain adalah suaminya berharap kepada para pemangku jabatan dan pengambil kebijakan di Poso agar memperhatikan kebutuhan masyarakat.
Menurutnya, pembangunan juga harus disertai peningkatan pelayanan terutama fasiltas kesehatan bagi warga, bukan hanya pembangunan fisik semata.
“Harapan-harapan itu, mewakili suara pasien-pasien dan keluarga mereka yang terhimpun dalam satu komunitas yang senasib asal Poso, yang tersebar di beberapa wilayah,” pungkasnya. (rdn/rlm)
Laporan : Ryan Darmawan