PALU, Kabar Selebes – Tindakan kekerasan dan pengrusakan perangkat liputan tiga wartawan Kota Palu saat aksi demo penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja mendapat perhatian dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulteng.
Komnas HAM sangat menyayangkan dan turut prihatin atas dugaan tindakan kekerasan dan pengrusakan perangkat liputan tersebut.
Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedi Askary kepada KabarSelebes.id, Selasa (13/10/2020) mengatakan, peristiwa yang dialami ketiga wartawan tersebut sungguh merusak demokrasi di Indonesia.
“Peristiwa tersebut mencerminkan kegagalan Reformasi Birokrasi ditubuh Kepolisian serta gagalnya Kebijakan Program Promoteur yang digembar-gemborkan oleh Institusi Kepolisian,” tandasnya.
Menurutnya, peristiwa tersebut memperlihatkan posisi kelembagaan Institusi Kepolisian berada pada posisi nadir dalam merespon massa aksi yang terjadi kala itu.
Seharusnya, dalam peristiwa demo pada 8 Oktober 2020 lalu, Institusi Kepolisian wajib menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berpendapat serta berekspresi setiap anggota masyarakat tanpa diskriminasi, baik yang dilakukan langsung melalui unjuk rasa damai maupun melalui media cetak, karya seni, media elektronik hingga sosial media.
Tidak hanya itu, didalam melakukan pengamanan atas aksi penyampaian pendapat dan ekspresi, Polri harus melakukaannya secara proporsional, berimbang serta sesuai keperluan dengan mendahulukan negosiasi atau dialog.
“Tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap wartawan tersebut, secara khusus tegas dan nyata melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagaimana yg diatur dan/atau ditegaskan dalam Pasal 8 UU Pers dinyatakan dalam menjalankan profesinya,” tegasnya.
Lanjut ia mengatakan, hakekatnya jurnalis mendapat perlindungan hukum karena pada Pasal 18 menyatakan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ayat 2 dan 3 dipidana dengan hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 Juta.
Atas rangkaian tindak kekerasan yang dilakukan aparat Kepolisian terhadap anggota massa aksi dari komponen mahasiswa se Kota Palu serta terhadap wartawan yang melakukan peliputan.
” Kiranya sangat bijak dan elegan agar Kapolda Sulteng, Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Abdul Rakhman Baso menyampaikan permohonan maaf kepada komponen massa aksi mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta organisasi wartawan di Kota Palu,” terang Dedi menambahkan.
Ia mengatakan, Kapolda Sulteng seharusnya segera memerintahkan Dirpropam Polda untuk melakukan penyelidikan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak kekerasan kepada tiga orang wartawan dan sejumlah anggota massa aksi dari elemen mahasiswa.
Langka Hukum secara tegas, kata dia, penting dilakukan oleh Kapolda Sulteng, baik memproses hukum secara internal personel Polisi yang melakukan kekerasan terhadap tiga wartawan dan dari elemen mahasiswa.
Bahkan, Kapolda Sulteng juga harus memberikan punismen berupa mutasi bersifat Demosi kepada personel Polri yang telah bertindak berlebihan kepada wartawan.
“Jika proses internal oknum Kepolisian dinyatakan terbukti bersalah, agar kiranya dan atau sesegera mungkin ditindak lanjuti dalam mekanisme hukum di peradilan umum. Mengingat anggota Polri serta Institusi Polri bukanlah anggota dan/atau institusi militer,” pungkasnya.
Menurut Dedi, hal tersebut menjadi penting dan strategis sebagai pembuktian bahwa di institusi Kepolisian benar-benar melaksanakan Reformasi Birokrasi dan menjalankan kebijakan serta Program Promoteur yang saban waktu digembar-gemborkan oleh pejabat di Kepolisian.
“Kapolda Sulteng juga diharapakan segera memerintahkan pejabat yang menduduki jabatan utama untuk memerintahkan anak buahnya di lapangan menghentikan teror dan intimidasi yang hingga kini terus terjadi serta dialami oleh sejumlah massa aksi, utamanya dari elemen mahasiswa,” terangnya. (maf/rlm/fma)
Laporan : Mohammad Arief