DONGGALA, Kabar Selebes – Perjuangan petani Hemsi untuk mendapatkan pengakuan hak atas kepemilikan tanah yang selama ini diklaim secara sepihak dan dirampas oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Mamuang kini telah mendapatkan titik terang. Setelah melalui perjuangan panjang selama berpuluh tahun, akhirnya Hemsi memperoleh kepastian hukum atas kepemilikan tanah tersebut. Tujuh unit Sertifikat Kepemilikan Tanah (SKT) tertanggal 26 Agustus 2019 yang diterbitkan Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional RI Kabupaten Donggala menandai kepemilikan sah Hemsi dan istrinya Selpiana Rombe Payung dengan total luas kurang lebih 50 hektar yang terletak di Desa Bonemarawa Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala.
Tidak mudah bagi petani seperti Hemsi dan Selpiana untuk mendapatkan sertifikat sebagai bentuk pengakuan hak kepemilikan atas tanah dari negara. Mereka telah melalui perjuangan Panjang selama berpuluh tahun. Sejak tahun 2006 petani di Kecamatan Rio Pakava sudah mulai berkonflik dengan anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari (PT.AAL) tersebut. Kala itu Hemsi masih sekolah di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia menyaksikan menjadi saksi mata perampasan tanah yang dilakukan oleh perusahaan atas lahan yang sebelumnya dikelola warga telah memicu konflik agraria antara warga dengan pihak perusahaan. Tanaman petani digusur dan dirusak secara paksa dengan menggunakan alat berat. Bilamana ada warga yang ingin mempertahankan tanahnya dan melawan perusahaan akan diperhadapkan dengan aparat kepolisian dan centeng preman sewaan dari perusahaan.
“Dengan mata kepala sendiri saya melihat secara langsung para petani orang tua kami diintimidasi, direndam kepalanya dan ada juga yang dipukul. Saat itu tanaman kakao mereka sementara produksi. Sudah sejak lama tanah ini kami olah. Sejarahnya sangat jelas, kami mendapatkan lahan ini bukan dari hasil rampasan, melainkan dari hasil pelepasan tanah adat yang sudah resmi dilepaskan oleh tetua adat masyarakat asli di desa ini” Kata Hemsi menuturkan kesaksian di masa kecilnya.
Perlawanan masyarakat terus berlanjut, akumulasi kemarahan warga terhadap perusahaan tak dapat dibendung lagi. Tahun 2007 warga mencabut dan mencincang tanaman sawit yang di tanam oleh pihak perusahaan di atas lahan milik warga. Tidak puas berulah, tahun 2008 lagi-lagi perusahaan masuk dan kembali mengklaim secara sepihak kebun kami. Namun perlawanan dari warga pun meningkat, ratusan orang petani yang tergabung dalam kelompok tani. Hingga Desember 2008 tersisa puluhan orang saja yang bertahan untuk tetap berjuang mempertahankan tanahnya.
“Ketika itu sawit yang ditanam oleh warga sudah mulai produksi dengan sangat baik, namun sawit tersebut tiba-tiba kembali diklaim oleh PT.Mamuang. Tapi petani tak gentar dan terus berjuang untuk melawan penindasan yang di lakukan oleh pihak perusahaan. Sawit yang kami beli bibitnya, kami tanam sendiri di atas tanah kami tiba-tiba ingin dipanen dan diambil secara sepihak oleh PT. Mamuang. Dengan persatuan dan solidaritas petani ketika itu perusahaan akhirnya mundur” tutur Hemsi.
Karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Barat akhirnya pada tahun 2009 Kepala Desa Lalundu bersama Kepala Desa Panca Mukti beserta aparat penegak hukum turun ke lokasi lahan Hemsi dan melakukan pengukuran sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah tahun 1999 yang membuktikan bahwa wilayah kebun tersebut masuk ke dalam wilayah administratif Desa Panca Mukti Kecamatan Rio Pakava Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat.
“Suatu hari di tahun 2010, saya lupa persis tanggal dan bulannya. Perusahaan kembali datang dan langsung melakukan aktifitas panen di lokasi tersebut, sedangkan pada hari itu kelompok tani sedang melakukan panen. Buah sawit yang telah di panen oleh para petani diangkat oleh pihak perusahaan. Kemudian dua orang pekerja yang membantu saya melakukan panen ditangkap oleh aparat kepolisian dan TNI tanpa adanya surat penangkapan. Berikut buah sawit dimuat tanpa ada surat penyitaan barang dengan dalih untuk dijadikan sebagai alat bukti” kata Hemsi bercerita.
Melihat perlakuan perusahaan yang didukung oleh aparat keamanan, Hemsi melakukan perlawanan dengan menarik pekerja tersebut untuk dilepaskan. Namun aparat TNI justru balik memukul Hemsi dengan menggunakan ujung senjata laras panjang. Kedua pekerja tersebut akhirnya dibawa secara paksa dan ditahan di kantor Polsek Pasang Kayu Sulawesi Barat. Dan hari itu juga Hemsi ke kantor Polsek Pasang Kayu untuk menjemput kedua pekerja yang ditahan. Namun naas ketika sampai di Polsek Pasang Kayu Hemsi malah dijebloskan ke dalam penjara tanpa adanya surat penangkapan.
Menjalani penahanan selama tiga bulan tidak membuat Hemsi patah semangat. Ketika ia lepas dari tahanan tersebut, Hemsi kembali menjalankan aktifitasnya mengolah lahan tersebut dan terus melakukan perlawanan terhadap PT. Mamuang. Berselang lima tahun, ulah perusahaan semakin memuncak, mereka mengirimkan kelompok preman bayaran dan membangun pondok di samping gubuk Hemsi yang juga merupakan lahan Hemsi yang di klaim oleh perusahaan. Kala itu Hemsi acapkali diintimidasi dan diancam akan dibunuh jika ia dan keluarganya tidak keluar dari kebun tersebut.
Dari berpuluh-puluh kali intimidasi, niat Hemsi untuk terus melawan dan berjuang mempertahankan tanahnya tak sedikit pun surut. Di bawah ancaman preman bayaran perusahaan ia tetap bekerja mengolah lahan sawitnya. Karena melihat semangat perjuangan kawan-kawannya mulai berkurang dan ancaman perusahaan yang bertubi-tubi, Hemsi kemudian keluar dari kebun untuk menggalang solidaritas di desa dan kampung terdekat. Selama delapan bulan Hemsi mengorganisir dukungan dan solidaritas di Kecamatan Rio Pakava, dari Desa Ngowi, Bonemarawa, Ambulawa, Lalundu 6 sampai ke wilayah Sulawesi Barat. Karena saat itu banyak petani yang mengalami nasib yang sama dengan Hemsi, sehingga dengan mudah ia mendapatkan dukungan dan solidaritas.
Suatu ketika sekitar 200-an massa petani dari empat desa berkumpul menyatakan solidaritas terhadap ketertindasan yang dialami oleh Hemsi. Mereka turun menduduki lahan Hemsi dan seketika itu puluhan preman bayaran perusahaan menghalangi upaya pendudukan yang dilakukan massa petani. Bentrok antara massa aksi petani dan preman bayaran perusahaan tak terhindarkan lagi.
“Terjadi saling pukul, kejar-kejaran dengan parang dengan preman bayaran perusahaan. Untung saja saat itu pihak preman perusahaan kalah dan melarikan diri. Kemudian kami membakar pondok yang di bangun oleh para preman bayaran itu. Meskipun terus dipantau oleh pihak kepolisian, pasca kejadian itu saya tetap mengolah kebun seperti biasanya” jelas Hemsi.
Tidak hanya sampai disitu, tahun 2017 orang-orang perusahaan kembali datang dan memanen buah sawit di kebun Hemsi. Bahkan kali ini tumpukan buah sawit yang bergeletakan di tanah hasil pemanenan Hemsi dan pekerjanya langsung dimuat di atas truk oleh pihak perusahaan. Tapi kali ini Hemsi tidak tinggal diam, sekitar 100 orang berhasil menghalangi pengangkutan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Bahkan pada Juni 2017, Hemsi melaporkan tindakan pencurian dan perampasan yang dilakukan oleh PT. Mamuang ke Polsek Rio Pakava.
Pelaporan yang dilakukan oleh Hemsi berbuntut panjang, PT. Mamuang justru membalas dan melaporkan balik Hemsi ke Polres Pasangkayu atas tudukan melakukan pengancaman dan pengerusakan asset perusahaan. Hukum tebang pilih berlaku, realitas membuktikan penegakan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Nyatanya pelaporan yang dilakukan oleh Hemsi hingga saat ini belum diproses oleh Polsek Rio Pakava. Sementara itu atas pelaporan yang dilakukan oleh pihak perusahaan diproses oleh Polres Pasangkayu. Akhirnya Agustus 2017 Hemsi kembali ditangkap dan ditahan selama lima bulan di kantor Polres Pasangkayu.
Lima bulan meringkup di tahanan, kasus tersebut diproses di Pengadilan Negeri Pasang kayu. Pada moment inilah awal mula Hemsi mengenal WALHI Sulawesi Tengah yang saat itu sedang menangani kasus yang serupa dengan kasus Hemsi, dituduh melakukan pencurian buah sawit milik PT. Mamuang.
“Dari situlah saya mengenal lembaga WALHI Sulawesi Tengah dan saat itu tertarik dengan WALHI dan ingin bergabung menjadi anggota WALHI Sulawesi Tengah dan mulai saat itu pula saya terus menjalin komunikasi dengan WALHI dan saat itu saya merasa mendapatkan dukungan moral dan energi baru” kata Hemsi.
Mei 2018 Hemsi keluar dari penjara dan kembali membersihkan dan mengolah kebunnya. Perlawanan pun tidak mundur, Hemsi mengusir karyawan PT. Mamuang yang pada saat itu berada di wilayah kebun Hemsi. Meskipun tidak ada insiden yang terjadi kejadian tersebut, namun Hemsi tetap meminta bantuan WALHI Sulawesi Tengah untuk membantu penanganan kasus konflik lahan antara Hemsi dengan PT. Mamuang yang sudah berlarut larut dan tak kunjung menemukan jalan keluarnya. Di tahun yang sama Hemsi atas dampingan WALHI bertemu 13 lembaga kementerian dan lembaga negara di Jakarta.
Perjuangan Hemsi terus berlanjut dan semakin meluas. Semangat untuk terus menggalang solidaritas bersama dengan petani yang mengalami nasib yang sama. Di tengah dukungan yang semakin meluas dari seluruh penjuru nusantara, Hemsi memperoleh informasi adanya program dari pemerintah yang akan menerbitkan jutaan hektar sertifikat tanah untuk petani. Tak mau ketinggalan Hemsi melihat program pemerintah ini sebagai peluang untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanahnya.
“Saya melihat ini sebagai peluang bagi saya untuk mendapatkan alas hak untuk memperoleh pengakuan bahwa saya benar-benar berhak atas tanah ini. Sehingga waktu itu saya mencoba menghubungi pihak BPN Kabupaten Donggala untuk melakukan pengukuran di tanah saya yang bersengketa dengan PT. Mamuang. Dan tidak lama kemudian BPN melakukan pengukuran dan mengambil titik koordinat serta mengambil foto menggunakan drone di seluruh wilayah lokasi tanah saya dan ketika itu pihak BPN Kabupaten Donggala langsung memberikan keterangan bahwa tanah saya memang benar tidak termasuk dalam areal HGU PT.Mamuang” Terangnya.
Bulan Desember 2018 merupakan masa-masa sulit bagi Hemsi. Saat ia mengantar istrinya yang sedang hamil untuk melakukan proses operasi caesar untuk melahirkan anak ketiganya, di hari jumat tanggal 14 Desember 2018, bertepatan dengan hari kelahiran anak ketiganya itu ia didatangi dan dijemput paksa oleh aparat Polres Mamuju Utara atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang. Saat itu WALHI Sulawesi Tengah Bersama penasehat hukum berhasil bernegosiasi dengan pihak kepolisian. Mereka akhirnya menunda penangkapan tersebut hingga tanggal 15 Desember pukul 08.00 pagi. Tapi selama penundaan ini Hemsi dijaga ketat oleh aparat Polres Pasangkayu. Naasnya tepat pukul 12.20 Hemsi dibawa ke Polres Pasangkayu dengan menggunakan mobil. Dan WALHI Sulawesi Tengah Bersama penasehat hukum tetap mendampingi proses hukumnya.
Setelah proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) proses hukum berlanjut di Pengadilan Negeri Pasangkayu. Tanggal 25 Maret 2019, atas putusan Pengadilan Negeri Pasangkayu Hemsi divonis hukuman lima bulan penjara. Sebelumnya tanggal 22 Maret 2019 di hadapan majelis hakim dan dukungan aksi petani di ruang persidangan Hemsi membacakan pledoi dengan ekspresi kemarahan dan menceritakan segala penindasan yang dirasakan serta membukanya dengan puisi sastrawan progresif di era orde baru Widji Thukul bertajuk “Tanah”.
Atas putusan tersebut Hemsi tidak tinggal diam, baginya upaya mendapatkan keadilan tidak bisa berhenti disini. Ia mengajukan Kasasi ke Pengadilan Tinggi Makassar dan saat ini prosesnya berlanjut hingga kepengadilan Kasasi di Mahkamah Agung untuk membuktikan bahwa ia tidak pernah melakukan pencurian buah sawit PT. Mamuang.
Perjuangan Hemsi tidak cukup hanya dengan upaya proses hukum, Oktober 2019 Hemsi Bersama Direktur WALHI Sulawesi Tengah Abdul Haris dan perwakilan Eksekutif Nasional WALHI bertolak melakukan perjalanan ke negeri kincir angin Belanda dengan maksud bertemu dengan para pengusaha yang menanamkan sahamnya dan mengucurkan modal kepada pihak PT. Mamuang. Setiba di Belanda ia bertemu dengan pemilik saham Astra International, lembaga lembaga internasional perlindungan Hak Asasi Manusia dan salah satu anggota Partai Hijau Belanda serta Perdana Menteri Belanda.
Dihadapan petinggi dan pemilik saham Astra International, lembaga internasional perlindungan Hak Asasi Manusia Hemsi menceritakan kejahatan-kejahatan dan perlakuan tak manusiawi yang anak perusahaan PT. Astra Agro Lestari tersebut terhadap petani dan masyarakat seperti halnya intimidasi dan kriminalisasi yang dialaminya. Tapi kabar buruk kembali datang dari tanah air, dari Belanda ia menerima kabar istri tercintanya bersama anak anaknya didatangi oleh aparat kepolisian dan meminta untuk diantar ke lokasi lahan yang berkonflik dengan perusahaan.
Sepulang dari Belanda, Hemsi bersama WALHI Sulawesi Tengah menggelar konferensi pers dengan jurnalis di sekretariat AJI Palu. Di tengah awak media Hemsi menjelaskan maksud dan tujuan berangkat ke Belanda dan kontribusi pertemuan-pertemuan di Belanda terhadap perjuangan mempertahankan tanahnya.
“Dari hasil pertemuan tersebut saya melihat dan merasakan efek dan perubahan yang sangat signifikan yang terjadi pada perusahaaan PT. Mamuang sejak tahun 2019 sampai 2020. Seperti contohnya saja, mutasi terhadap orang orang yang terlibat dalam konflik dengan saya. Diantaranya ada yang dari level asisten, CDO dan pemecatan kepada mandor yang terlibat. Kemudian tidak adanya proses replanting. Padahal di wilayah perusahaan PT. Mamuang sebelumnya proses tersebut terjadi secara besar besaran” Tambahnya.
Meskipun sertifikat tersebut diterbitkan setahun yang lalu, namun buah hasil perjuangannya itu baru dapat ia dengar pada bulan Juni 2020. Kini tujuh unit sertifikat tanah tersebut telah ia pegang dan menjadi spirit baru untuk terus mempertahankan haknya atas tanah. Intimidasi, ancaman, kekerasan fisik hingga jeruji penjara tak telah ia lalui dan ia telah memetik hasil dari perjuangannya. Keberhasilan Hemsi memperoleh sertifikat dan mempertahakan tanahnya merupakan pembelajaran penting bagi gerakan petani di Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Perjuangan panjang dan tak kenal lelah yang dijalani oleh Hemsi membuktikan kepada gerakan petani dan umumnya gerakan rakyat bahwa sesungguhnya tak ada perjuangan yang sia-sia. Hasil dari perjuangan mempertahankan hak dan kemenangan hanya soal waktu. Sebagaimana terpatri dan akan terus melekat dalam semangat perjuangan petani Hemsi untuk mempertahanan tanahnya. “Tak gentar aku melawan, takkan habis sampai disini perjuangan, selama saya masih hidup, maka saya akan tetap berjuang memerangi ketidakadilan” Tutup Hemsi menegaskan. (ap/fma)