Jakarta, Kabar Selebes — Kasus pelecehan dan seksual tengah menjadi topik pembahasan yang hangat di tengah masyarakat dalam beberapa pekan terakhir. Situasi ini terjadi setelah sejumlah korban kekerasan seksual atau pihak yang mengklaim mengetahui peristiwa yang terjadi buka suara ke publik lewat berbagai platform media sosial.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah menilai bahwa berbagai kasus dugaan pelecehan serta kekerasan seksual ini membuat Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) jadi mengandung urgensi untuk dibahas.
Menurutnya, situasi rumit dalam masalah seksualitas di Indonesia harus menjadi fokus utama untuk diselesaikan. Dia pun berkata bahwa kekerasan seksual berbeda dengan kekerasan fisik.
Beberapa kasus di antaranya mendapatkan perhatian besar publik seperti yang diduga dilakukan oleh oknum mahasiswa Universitas Airlangga bernama Gilang, seorang dosen perguruan tinggi di Yogyakarta berinisial BA, video blogger (vlogger) Turah Parthayana, hingga dugaan kekerasaan seksual yang terjadi di kelompok Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).
“Situasi rumit dalam seksual di Indonesia harus jadi fokus utama, Kekerasan seksual berbeda dengan kekerasan fisik. Kekerasan fisik pun kalau masuk di ranah seksual itu harus betul-betul diidentifikasi rinci,” kata Maryati saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (7/8).
Dia menyampaikan, seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan analisis beberapa waktu lalu bahwa RUU PKS telah komprehensif pada dua aspek yakni terkait perkosaan serta aborsi.
Menurutnya, sebanyak tujuh aspek lagi masih perlu didorong agar RUU PKS menjadi komprehensif. Maryati pun berkata, masyarakat harus mendapatkan edukasi yang tepat agar terhindar dari ‘kampanye hitam’ seputar RUU PKS.
Dia menegaskan, RUU PKS lahir dari kondisi masyarakat yang menghadapi berbagai kejahatan seksualitas yang luar biasa. Menurutnya, berbagai kekhawatiran yang muncul terhadap RUU PKS tidak sesuai dengan fakta-fakta seputar kejahatan seksual.
“Kita harus bisa beri edukasi di masyarakat karena black campaign terhadap RUU PKS yang harus kita kikis, karena kalau kita lihat ada ruang kekhawatiran yang berlebihan yang harus direspons sehingga menjadi polemik yang kontraproduktif dengan tujuan,” tuturnya.
Maryati mencontohkan, kekosongan hukum terkait kekerasan seksual membuat korban pemerkosaan dengan jari atau benda tumpul sulit untuk dibuktikan. Menurutnya, hal itu mengakibatkan banyak kasus pemerkosaan yang tidak tuntas saat diseret ke ranah pidana.
Selain itu, lanjutnya, RUU PKS juga penting untuk menjamin anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual mendapatkan advokasi atau pendampingan yang memadai saat melaporkan kasusnya. Tak sedikit masyarakat takut untuk melaporkan kasusnya ke polisi atau orang lain.
“Ini poin yang harus kita dorong dalam RUU PKS sehingga kelihatan menambal sisi yang bolong yang sudah ada di KUHP, UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu bisa terlihat bagaimana kebolongan UU kekerasan seksual yang kita temukan di lapangan untuk kemudian disempurnakan lewat RUU PKS,” imbuh Maryati.
Lebih jauh, ia berharap agar lebih banyak korban pelecehan atau kekerasan seksual yang berani mengungkapkan kasusnya ke publik.
“Saya harap di tataran orang dewasa speak up dan lakukan secara lebih masif dan sekarang tren banyak yang speak up tapi dukungan publik besar, dukungan negara terutama juga besar,” ujar dia.
Kasus-kasus
Kasus Gilang yang diketahui usai korban berinisial MF mengungkapkannya. MF belakangan baru menyadari itu pelecehan, sebab awalnya Gilang meminta tolong bantuan untuk riset akademis. MF menceritakan pengalaman itu lewat Twitter.
Terkait kasus ini, Dekanat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair menggelar rapat untuk melakukan klarifikasi, Senin (3/8). Rapat itu dilakukan bersama pihak keluarga Gilang, yakni ibu dan kakaknya. Sementara untuk Gilang, sampai saat ini belum diketahui keberadaannya dan tidak dapat dihubungi.
Berikutnya, kasus seorang dosen perguruan tinggi di Yogyakarta berinisial BA terjadi dengan kedok membuat penelitian tentang swinger atau hubungan seks bertukar pasangan.
Korban BA bernama Illian Deta Arta Sari angkat suara melalui akun Facebooknya. Dia mengungkapkan bahwa BA langsung mengontak dirinya ihwal penelitian yang akan dilakukan.
Mulanya, kata Illian, BA bertanya terkait pengalamannya di ICW, kuliah di luar negeri hingga soal metodologi riset dan seputar akademis.
Sebelum membahas soal penelitian, BA lebih dulu meminta korban untuk menjaga rahasia. Permintaan itu dipenuhi Illian berbekal prasangka baik untuk sebuah penelitian. Diungkapkan Illian, BA mengaku sudah meminta istrinya untuk membantu riset. Namun, sang istri menolak.
Illian dan dua rekannya lalu meminta BA untuk membuat video berisi permohonan maaf terbuka. Dalam pertemuan itu juga dosen ‘swinger’ mengunggah video ke media sosial miliknya. Namun, pada pukul 22.00, BA menghapus semua akun media sosialnya.
Meski demikian, video pengakuan BA itu telah beredar di media sosial. Dalam video yang diunggah akun @bamsbulaksumur pada Sabtu (1/8) itu, BA mengaku cerita swinger yang ia curhatkan pada korban sebenarnya adalah kebohongan yang ia buat berdasarkan film.
“Dan sekali lagi saya memohon maaf atas kesalahan saya ini dan saya meminta teman-teman yang pernah saya ajak diskusi memberikan maaf kepada saya. Terimakasih atas perhatiannya ya teman-teman dan saya mohon maaf semuanya ya atas kekhilafan saya ini” katanya.
Selanjutnya, kasus Turah. Dugaan pelecehan ini mengemuka setelah Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kota Arkhangelsk Sandi Saputra, membuat utas lewat akun Twitter-nya, @sandi_sa119 pada Rabu (5/8) malam.
Dalam penuturannya, insiden ini terjadi tahun lalu. Sandi menuturkan kala itu setelah kejadian karena minimnya pertolongan, ketakutan pribadi, serta beberapa ancaman, maka korban memilih bungkam.
“Korban adalah mahasiswa S1 yang baru lulus SMA dan datang ke Rusia. Kejadian itu terjadi, ada proses ancaman, dia ditekan bahwa kasus ini tidak boleh keluar dari kotanya [menuntut ilmu], di Tomsk, Rusia,” kata Sandi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (6/8).
Terakhir, dugaan pelecehan seksual terjadi di Sindikasi. Dugaan ini terungkap setelah akun anonim di Twitter bernama @DianRatti yang membeberkan ada korban perkosaan oleh anggota Sindikasi bernama Nadi Tirta Pradesha alias Esha pada Selasa lalu (21/7).
@DianRatti menyebut pihaknya telah mencoba menghubungi Ketua Sindikasi Ellena Ekarahendy, namun tidak mendapatkan respons yang sesuai harapan. Ia justru menilai Ellena melindungi Esha.
Merespons, Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Sindikasi mengaku telah membentuk Tim Independen Pencari Fakta untuk menelusuri dugaan pelecehan seksual tersebut. (fma)
Sumber : CNNIndonesia.com