Tutup
Kolom Anda

Perempuan Menolak RUU Cipta Kerja yang Bermasalah

×

Perempuan Menolak RUU Cipta Kerja yang Bermasalah

Sebarkan artikel ini
Ruwaida

OMNIBUS Law RUU Cipta Kerja yang pertama kali disebut Jokowi di Pidato pelatikannya sebagai presiden 2019-2023, secara total RUU Cipta Kerja ini telah menyelaraskan 79 UU dan 1.203 pasal, dan terdiri dari 15 Bab dan 174 Pasal. Dalam perjalannya RUU ini mengalami berbagai penolakan dari masyarakat, karena memberikan segala kemudahan untuk pengusaha, dengan menghilangkan segala bentuk kebijakan yang menghambat investasi, serta berpotensi melanggar HAM, terutama hak azasi perempuan yang selama ini sudah mengalami ketidakadilan gender akibat budaya patriarki. 

RUU Cipta Kerja yang secara besar-besaran menyasar pada kepentingan investasi juga menyasar lingkungan hidup serta tata ruang wilayah darat maupun pesisir.

Advertising

Pola developmentalisme yang dipraktikkan dari masa ke masa mendorong masifnya investasi di berbagai sektor, antara lain investasi pertambangan, perkebunan skala besar, maupun proyek investasi serta infrastruktur. Pola pembangunan tersebut selama ini telah berdampak bagi kelompok masyarakat, perempuan dan laki-laki. Sebut saja seperti hilangnya ruang hidup masyarakat, termasuk hilangnya lingkungan yang sehat, sumber penghidupan dan ekonomi masyarakat, juga hancurnya nilai-nilai sosial, pengetahuan, kearifan lokal, budaya, hingga aspek spiritual yang selama ini dijaga dan dilestarikan oleh komunitas. karenanya, yang perlu dilakukan adalah memperkuat mekanisme keterlibatan, misalnya melalui AMDAL termasuk untuk memastikan keterlibatan perempuan dan mengintegrasikan keadilan dan kesetaraan gender di dalam pelaksanaannya.

Hal ini sempat menjadi komitmen Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang disampaikan pada Maret 2018 lalu untuk memastikan terintegrasinya analisis gender dalam instrumen Analisis Lingkungan dan Proses Pemberian Izin Lingkungan. Komitmen tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 yang menyebutkan perempuan sebagai salah satu kelompok kepentingan yang harus dilibatkan dalam konsultasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Terobosan ini diharapkan dapat menjadi instrumen bagi perempuan untuk mempertahankan sumber kehidupannya.

Dalam RUU Cipta Kerja ini pada pasal 23 yang merupakan perubahan UU No. 32 tahun 2009 tentang PPLH, menghapus pasal 29-31 mengenai Komisi Penilai AMDAL, karena akan diturunkan dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini merupakan sebuah upaya untuk memperlemah AMDAL sebagai mekanisme perlindungan terhadap lingkungan. Komisi Penilai AMDAL sendiri merupakan lembaga yang diharapkan dapat membuat analisis dampak dari aktivitas industri, baik terhadap lingkungan, juga terhadap situasi sosial masyarakat, termasuk dampaknya terhadap perempuan. Pengaturannya di dalam PP, ditenggarai akan memperlemah kewenangan dan fungsi dari Komisi Penilai AMDAL, sehingga tidak akan cukup kuat untuk melindungi hak masyarakat atas lingkungan dan sumber daya alamnya. Bukan hanya terkait Komisi Penilai AMDAL, pengawasan dan pengenaan sanksi admnistrasi di dalam UU PPLH juga banyak dihapus dan didelegasikan pada Peraturan Pemerintah.

Juga nampak dalam draft RUU Cipta Kerja upaya pembatasan akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi dan keadilan dalam pengambilan keputusan yang berpotensi memberi dampak pada lingkungan hidup. Dalam draft RUU Cipta Kerja Pasal 23 angka 18 mengenai perubahan Pasal 39 ayat (2) UU PPLH diubah dari “dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat” menjadi “dilakukan melalui sistem elektronik dan/atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.” Perubahan ini merupakan contoh nyata pemerintah yang secara sengaja menghilangkan partisipasi masyarakat, terutama masyarakat marjinal, apalagi perempuan yang sangat minim akses informasi, dan fasilitas untuk dapat menggunakan sistem elektronik. Pengumuman Izin Lingkungan akhirnya hanya sekedar formalitas semata, karena hanya akan dapat diakses oleh kalangan yang bisa mengakses dan terbiasa menggunakan sistem elektronik. Selain itu, klausul mengenai ‘cara lain’ yang ditetapkan oleh pemerintah juga menghilangkan jaminan untuk memastikan cara yang digunakan betul-betul dapat diakses dan memberikan informasi yang cukup bagi masyarakat. Padahal informasi harus dibuat semudah mungkin dan mempertimbangkan situasi sosial di masyarakat, untuk mencapai kesetaraan akses informasi.

Tak hanya itu, di dalam draft RUU Cipta Kerja, seluruh kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat (sentralisasi). Sehingga, akses masyarakat menjadi semakin jauh untuk bisa mengakses hak dan perlindungan mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam RUU ini pemerintah meminggirkan kewajibannya untuk memastikan hak masyarakat atas tanah, dengan mengambil peran dalam menyiapkan dan memastikan ketersediaan lahan untuk kebutuhan investasi. Hal ini dilakukan diantaranya dengan fleksibilitas terbatas perubahan tata ruang untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi nasional; kemudahan percepatan perizinan Hak Pengelolaan Lahan, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Sedangkan untuk kawasan hutan dilakukan dengan mempermudah dan percepatan perizinan Izin Penggunaan Kawasan Hutan (IPKH), Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan pelepasan kawasan hutan. Terkait pengadaan tanah, hal senada juga diungkapkan Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, yang menyatakan akan memasukan bank tanah, yang salah satu tujuannya adalah penyediaan tanah dalam Omnibus Law ini. Kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada investor ini akan sangat berdampak kepada semakin hilangnya akses dan kontrol perempuan atas tanah. Padahal, perempuan telah menghadapi ketimpangan yang berlapis, baik ketimpangan kepemilikan antara masyarakat dengan investor, maupun ketimpangan kepemilikan antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan data Solidaritas Perempuan 2019, menunjukkan bahwa dalam tanah milik bersama, hanya 24,2% bukti kepemilikan yang atas nama perempuan, paling banyak tanah bersama bukti kepemilikannya atas nama suami. Selain itu dengan semakin mudahnya investor mendapatkan tanah/lahan otomatis akan meningkatkan konflik agraria, karena lahan lahan yang disiapkan oleh pemerintah ini, sudah dapat dipastikan adalah lahan-lahan yang sudah ditempati dan dikelola oleh masyarakat. Data Solidaritas Perempuan 2019, memperlihatkan bahwa 68% perempuan mengalami intimidasi dan tindak kekerasan. Hal ini semakin menujukkan bahwa Reforma Agraria yang digaungkan pemerintah hanyalah slogan tanpa adanya langkah-langkah, untuk membongkar ketimpangan struktural dalam kepemilikan dan penguasaan tanah, termasuk ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. maupun menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural, yang sejatinya merupakan tujuan dari Reforma Agraria.

Pada konteks produksi pangan, RUU Cipta Kerja juga mengancam kedaulatan pangan karena menyamakan kedudukan produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional dengan impor pangan sebagai sumber penyediaan pangan. Hal ini tentunya berbeda dengan UU Pangan dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang membatasi impor pangan. Situasinya akan lebih buruk jika diperhitungkan dengan fakta bahwa Indonesia mengejar komitmen perjanjian internasional yang multilateral, regional maupun bilateral. Oleh karena komitmen tersebut akan mendorong prinsip non-diskriminasi yang memaksa produsen pangan kecil dan tradisional di Indonesia untuk berkompetisi dengan produsen pangan negara maju yang didukung oleh fasilitas dan teknologi untuk memenuhi persyaratan pasar global. Di sisi lain, pasar domestik akan dibanjiri dengan produk pangan impor dengan harga yang lebih murah.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja dikesankan oleh Pemerintah untuk kepentingan membuka lapangan pekerjaan. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan “RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dilakukan untuk memberi kepastian pada pengusaha dan juga buruh. Pemerintah ingin lingkungan investasi pun terjaga dengan baik sehingga jangan disebut Omnibus Law hanya menguntungkan pengusaha tanpa perhatikan pekerja.”[1] Tapi faktanya yang diakomodir adalah kepentungan pengusaha dengan fleksibilitas tenaga kerja yang menggambarkan kemudahan dalam melakukan rekrutmen maupun pemutusan hubungan kerja. Antara lain status kontrak tanpa batas, penghapusan perlindungan upah dan PHK, serta pemotongan jumlah pesangon. Lebih buruk bahkan pada RUU Cipta Kerja ini tidak dikenal cuti karena haid atau keguguran karena hanya menyebutkan cuti tahunan dan cuti panjang lainnya yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Tentu ini sebuah langkah mundur karena tidak menjadi sebuah kewajiban bagi pengusaha. Jikapun cuti tersebut didapatkan, pekerja/buruh perempuan kemungkinan besar tidak akan mendapatkan bayaran karena pada Pasal 93 RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa upah hanya dibayar jika pekerja/buruh melakukan pekerjaan dengan pengecualian pada butir d, yaitu ketika tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya dimana tidak termasuk di dalamnya cuti haid. Juga tidak ada pasal yang khusus menjamin dan melindungi hak perempuan buruh, terkait peran perawatan yang dilekatkan pada perempuan, misalnya mewajibkan pengusaha untuk menyediakan ruangan menyusui dan ruangan untuk memerah ASI. Tidak juga ada kebijakan yang mempermudah perempuan buruh yang memiliki anak, untuk dapat mendapat fasilitas penitipan anak untuk anak balita. Dalam konteks hukum perburuhan, pemerintah/negara memiliki peran untuk mengintervensi relasi kuasa yang tidak setara antara buruh dan pemberi kerja, guna memastikan penegakan hak-hak buruh/tenaga kerja.

Tak hanya itu, setidaknya terdapat 50 pasal yang mengancam kesejahteraan kelompok buruh seperti cuti haid untuk perempuan dicabut, perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) dapat diperpanjang hingga 5 tahun, fasilitas kesejahteraan dihapus, hingga jumlah pesangon perlu dikurangi. Situasi ini akan semakin memperburuk situsi buruh, terlebih buruh perempuan. Misalnya saja, perempuan yang bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) di perkebunan sawit yang selama ini belum terlindungi keselamatan kerjanya. BHL juga tidak mendapat cuti haid, tidak mendapat fasilitas toilet dan sanitasi yang memadai, dengan upah yang minim, serta rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, karena seringkali lokasi perkebunan berada di tempat terpencil.

Lantas bagaimana dengan kepentingan perempuan? Tidak terbatas hanya soal kesehatan reproduksi, keluarga ataupun kekerasan terhadap perempuan. Sehingga rumusan kebijakan selalu memiliki dimensi gender dalam implikasinya. Untuk itu sudah seharusnya dalam merumuskan kebijakan, terlebih pada level Undang-Undang, Negara tidak melihat masyarakat sebagai kelompok yang homogen. Melainkan memiliki beragam identitas, termasuk identitas gender. Jika tujuan pembentukan RUU Cipta Kerja adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan cipta kerja untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Apabila menyisir draft RUU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat yang diasumsikan sebagai draft yang telah diserahkan oleh Pemerintah ke DPR RI pada 12 Februari 2020, jelas bahwa Negara secara sengaja meninggalkan kelompok perempuan. Penyebutan perempuan hanya ditemukan pada Pasal 153 ayat (1) huruf e mengenai larangan bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja bagi pekerja/buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Jika ini dimaksudkan sebagai klausul untuk peningkatan perlindungan dan kesehatan pekerja/buruh, khususnya pekerja/buruh perempuan, maka RUU ini tidak menjawab masalah yang selama ini terjadi. Karena ketentuan tersebut sudah menjadi bagian dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

RUU ini secara jelas akan berkontribusi terhadap semakin tersingkirnya perempuan maupun menguatnya ketidakadilan gender. Ancaman terkait perampasan sumber agraria, pangan dan penghancuran lingkungan, tidak hanya merupakan ancaman bagi kedaulatan perempuan atas sumber-sumber penghidupannya, melainkan juga atas pengetahuan dan kearifan lokal yang selama ini menjadi kekuatan bagi keberlanjutan hidup perempuan. Masifnya investasi akan menghilangkan beragam pengetahuan dan cara hidup masyarakat adat maupun komunitas yang selaras dan mengandalkan kehidupan dari alam, menjadi dipaksa bergantung pada industri, sehingga kehilangan kedaulatannya.

Solidaritas Perempuan juga mendesak Negara untuk menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, serta fokus pada tujuan dasar berbangsa dan bernegara sesuai dengan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut menciptakan ketertiban dunia. Dengan:

  1. Penguatan kedaulatan rakyat, melalui pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, dan berbasis inisiatif, pengetahuan, dan kearifan lokal masyarakat, baik perempuan maupun laki-laki.
  2. Patuh pada komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia, termasuk Hak Asasi Perempuan yang telah ditandatangani seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik; Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, maupun Perjanjian Paris.
  3. Prioritas pada Rancangan Undang-Undang yang dibutuhkan masyarakat, serta untuk kepentingan perlindungan perempuan, di antaranya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat, sebagai bukti komitmen Negara terhadap upaya pembangunan yang adil gender.
  4. Harmonisasi kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan untuk memperkuat kedaulatan serta hak-hak perempuan dan komunitas, dengan mengintegrasikan perspektif keadilan sosial dan keadilan gender.

Palu, 15 Juli 2020,

RUWAIDA

Ketua Badan Eksekutif Komunitas Solidaritas Perempuan Palu

*Seluruh tulisan adalah tanggung jawab Penulis.

Silakan komentar Anda Disini….