POSO, Kabar Selebes – Ujaran kebencian atau hate speech kini menjadi fenomena yang makin berbahaya seiring makin tingginya penggunaan media sosial. Dilansir dari detik.com, sepanjang tahun 2017 lalu, polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Angka tersebut naik 44,99% dari tahun sebelumnya, yang berjumlah 1.829 kasus.
Meski sudah dilarang secara hukum maupun etika, toh setiap hari kita bisa melihat di media sosial praktek itu terus berlangsung. Jika terus dibiarkan berkembang, akan mendorong masyarakat ke dalam sekat-sekat yang pada akhirnya mengoyak keIndonesiaan.
Situasi inilah yang mendorong Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Imparsial dan Fahmina Institut, menyelenggarakan workshop Anti Ujaran Kebencian yang melibatkan pihak Kepolisian di Poso, dan tokoh-tokoh agama. Kegiatan itu dilaksanakan menjelang akhir Februari lalu, (23/2/18) di Dodoha Mosintuwu, Tentena.
Menurut Lian Gogali, Direktur Institut Mosintuwu, akar ujaran kebencian sebenarnya berawal dari ketidaktahuan dan pemahaman akan sesuatu, yang kemudian dimasuki oleh kepentingan politik dan ekonomi kelompok tertentu.
Lian bahkan memuji keterlibatan tokoh agama dan kepolisian dalam gerakan tersebut, karena mau belajar bersama dan bergandeng tangan menghadapi maraknya ujaran kebencian.
“Dengan gerakan bersama ini, para tokoh agama tidak akan mudah dikompori pihak tertentu yang punya kepentingan ekonomi politik. Demikian juga pihak kepolisian, akan lebih profesional dalam melakukan penindakan karena ada dukungan masyarakat dan tokoh agama,” ujar Lian saat dimintai tanggapannya ketika mengisi waktu liburnya, Minggu, 4 Maret 2018.
Menurutnya, agar praktek ujaran kebencian tidak terus terjadi, para tokoh agama bersama Kepolisian dan pemuda kabupaten Poso, sengaja mendeklarasikan gerakan anti ujaran kebencian.
Lantas apakah ujaran kebencian via media sosial sudah sampai mempengaruhi masyarakat kabupaten Poso? jawabannya ya. Merujuk pada akhir 2017 lalu, sekelompok masyarakat melaporkan seorang warga karena dianggap menyinggung perasaan umat Islam.
Beberapa bulan sebelumnya, Kepolisian Resort Poso juga menerima laporan dari kelompok masyarakat atas sebuah akun facebook yang dianggap menyebarkan provokasi ditengah masyarakat. Meski pihak kepolisian menghadapi beberapa hambatan teknis, namun proses penyidikan dan penyelidikan kasus ini masih terus bergulir.
Data BPS menunjukkan pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter dan Whatsapp di kabupaten sudah mencapai 24,33 persen dari total penduduk. Dari jumlah itu, sebanyak 51,77 persen adalah mereka yang pendidikannya SMA dan diatasnya. Ada pula 5,51 persen tidak tamat SD. Profil pengguna media sosial yang tanpa literasi kuat seperti di kabupaten Poso, cenderung mudah dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu untuk menimbulkan keresahan melalui media sosial.
Bukan hanya terhadap masyarakat umum, menurut Kapolres Poso, AKBP Bogiek Sugiarto, masih ada juga diantara aparatnya yang belum memahami apa yang dinamakan ujaran kebencian.”Karena itu semuanya wajib untuk memahaminya,” tegas Bogiek saat memberikan pemaparan dalam workshop ketika itu.
Evitarossi, sebagai peneliti Imparsial, juga mengatakan sangat banyak fakta sejarah saat ini, yang menunjukkan ujaran kebencian memupuk subur tumbuhnya intoleransi dan mendorong orang melakukan kekerasan, diskriminasi dan permusuhan ditengah masyarakat.
Situasi seperti yang disebutkan Evitarossi itu pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran kelompok masyarakat untuk berekspresi, karena khawatir apa yang mereka lakukan akan disalahartikan kelompok lain, lalu disebarkan penuh kebencian di media sosial hingga menimbulkan masalah.
Inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab warga Kristen di kelurahan Madale, Poso Kota Utara tidak memutar lagu-lagu rohani di Gereja dengan menggunakan pengeras suara, sebab khawatir akan menyinggung umat lain.
Ustadz Abdul Rahim yang menjadi peserta Workshop saat itu, sempat menceritakan, bagaimana warga kristen di kelurahan Madale sudah tidak pernah lagi memutar lagu-lagu rohani di Gereja menggunakan pengeras suara, sejak kerusuhan tahun 2000 silam karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang menolak. Namun lewat dialog, akhirnya masyarakat di kelurahan Madale dan Tegal Rejo tidak lagi mempermasalahkan suara nyanyian lewat pengeras suara di Gereja hingga saat ini.
Menurut Ardi Manto Adiputra, koordinator peneliti Imparsial mengatakan, alasan dipilihnya Poso sebagai salah satu daerah untuk melaksanakan workshop Anti Ujaran Kebencian, karena pengalaman konflik yang pernah terjadi di daerah ini. Kabupaten Poso menurut dia punya resiko dua kali lebih besar potensi konfliknya dibanding daerah lain.
Berikut 6 poin deklarasi anti ujaran kebencian yang dihasilkan dalam Worksshop di Dodoha Mosintuwu.
DEKLARASI BERSAMA
Kepolisian, Tokoh Agama, Masyarakat, dan Pemuda Kabupaten Poso“Menangkal Ujaran Kebencian, Meneguhkan Kebinekaan dan Keindonesiaan”
1. Menyerukan kepada semua pihak di masyarakat untuk menghentikan penyebaran ujaran kebencian atas dasar suku, agama, ras, atau identitas sosial lain karena perbuatan ini akan menyulut maraknya aksi kekerasan, diskriminasi, dan konflik sosial di masyarakat;
2. Mengajak kepada semua pihak di masyarakat untuk memanfaatkan berbagai media baik itu tempat-tempat umum (rumah ibadah, lapangan, jalanan, dsb), media cetak maupun elektronik (media-media sosial) secara cerdas dan bertangung jawab;
3. Mendukung tokoh-tokoh agama, masyarakat, dan pemuda untuk berperan aktif melakukan edukasi dan memberikan penyadaran kepada masyarakat luas agar tidak membuat dan menyebarkan ujaran kebencian di ruang publik;
4. Menggugah tokoh partai dan elit politik serta para pendukungnya untuk menghindari dan tidak menggunakan politik kebencian (ujaran kebencian, hoaks, fake news) sebagai instrumen politik untuk mempengaruhi masyarakat dalam rangka pemenangan Pilkada, Pileg, dan Pilpres;
5. Mendukung Kepolisian untuk melakukan tindakan tegas terhadap pelaku ujaran kebencian dan hoaks sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;6. Mendukung adanya sinergitas yang kuat antara Pemerintah Daerah dengan elemen-elemen lain di dalam masyarakat agar semakin berperan aktif dalam penanganan ujaran kebencian dan hoaks di wilayah Poso.
Deklarasi itu ditandatangani oleh Kapolres Poso, Institut Mosintuwu Poso, Imparsial, Fahmina Institute, Tokoh Agama Islam Kabupaten Poso, Tokoh Agama Kristen Kabupaten Poso, dan Tokoh Agama Hindu Kabupaten Poso.(Mitha)