PALU, Kabar Selebes – Sejak diumumkan hingga ditarik kembali sayembara oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tengah untuk melepaskan lilitan ban di salah satu leher buaya sungai Palu, area bantaran sungai menjadi lokasi yang ramai untuk dikunjungi masyarakat.
Dari pantauan KabarSelebes.ID, sejak 1 Februari 2020 animo masyarakat untuk melihat langsung buaya berkalung ban kian meningkat. Sesekali reptil itu menampakkan diri kepermukaan air. Lokasi kemunculannya, yang berdekatan dengan aktivitas warga di bantaran sungai, tak membuat kekhawatiran.
Salah satunya, Nurdin warga jalan Rajamoili, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur. Ia mengaku tak pernah merasa terganggu dengan keberadaan kawanan buaya itu, terkhusus yang berkalung ban.
“Sudah lama saya tinggal disini, tidak pernah mereka (kawanan buaya,red) mengganggu. Apa lagi buaya yang berkalung ban, dulu sering saya kasih makan,” katanya di pesisir muara teluk Palu, Rabu (5/2/2020).
Persahabatan Nurdin dengan kumpulan hewan buas itu semakin tampak, saat ia dengan leluasa berenang ke tengah sungai Palu, melewati gerombolan buaya yang menampakan diri. Tak sedikitpun terlihat rasa takut diraut wajah pria berusia setengah abad itu.
Melewati gerombolan buaya itu, menurut Nurdin menjadi hal biasa. Reptil tersebut sudah ada di sungai palu sejak 1987, bahkan populasinya saat ini sudah mencapai ratusan. Sebab setiap tahun, ia selalu melihat anak buaya berjemur di muara.
“Saya biasa berenang ketengah sungai untuk membuang bangkai hewan yang hanyut ke tepian. Kasian, disini ada banyak aktivitas warga. Buaya ini sudah lama ada, kalau tidak salah dari tahun 1987. Banyak sekali sudah jumlahnya, karena mereka ini selalu berganti. Jadi kalau yang anakkan, dia berada di muara ini. Kalau sudah besar dan terbiasa dengan air laut mereka baru ke air laut,”ungkapnya.
Sementara terkait upaya BKSDA untuk melepaskan ban di leher salah satu buaya. Ia mengaku mendukung, namun hal itu perlu dibicarakan bersama dengan masyarakat khususnya yang bermukim di bantaran sungai dan nelayan.
Pasalnya, dampak daru tindakan tersebut secara otomatis akan menggangu kenyamanan dari para reptil. Sehingga perlu adanya komunikasi bersama atara Pemerintah dan masyarakat.
“Meraka (buaya,red) tidak pernah memakan manusia. Tapi kalau di ganggu mereka pasti bunuh yang mengganggu, karena sudah beberapa kali kejadi seperti itu terjadi. Contoh, kalian ingin nelayan Lere yang diserang buaya, itu karena sebelumnya dia pukul buaya yang tersangkut di jaringannya. Jadi memang mereka (BKSDA,red) harus bicara bersama masyarakat, karena nanti dampaknya ke masyarakat juga,”harapnya.(Sobirin)