HIDUP di usia senja dengan tubuh yang telah ringkih termakan usia, tentu bukanlah perkara yang mudah untuk dilalui. Selain kemampuan secara fisik yang telah menurun seiring bertambahnya usia, kondisi kesehatan pun harus dijaga agar tidak mudah terkena penyakit. Untuk itu, peran keluarga sangat besar membantu mewujudkan semua hal tersebut.
Sayangnya, hal ini nampaknya tak bisa dinikmati dengan bebas oleh sosok nenek renta yang satu ini. Dipenghujung usianya yang semakin redup, ia harus berjuang sendiri, terombang-ambing kerasnya kehidupan. Mirisnya, himpitan ekonomi membuatnya harus rela menjadi pengumpul barang bekas.
Dialah Hermin. Nenek renta berusia 72 tahun ini tinggal di Desa Binangga kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Dia adalah wanita yang berasal dari provinsi Jawa Timur. Kemiskinan yang melilitnya di daerah asal membuat nenek Hermin memilih mengadu nasib ke tanah kaili, demi memperbaiki kehidupannya di masa yang akan datang.
”Saya masuk ke Sulawesi Tengah tahun 80-an, terus saya menikah sama duda di desa ini (Binangga) tapi hanya berapa bulan dia meninggal, kita tidak punya anak juga,”jelasnya sambil mengingat masa mudanya saat menginjakan kaki di tanah kaili.
Sejak ditinggal suaminya, pekerjaan serabutan pun dilakoninya mulai dari membersihkan rumah orang dan mengumpulkan barang bekas untuk dijual.sembari bercerita kisah mudanya, sesekali mata nenek berusia 72 tahun ini berkaca kaca, jika mengingat kembali kehidupannya.
Tinggal Digubuk, yang dibangun masyarakat
Hidup sendiri tanpa ditemani oleh sanak saudara, membuat sosok nenek Hermin harus menanggung beban hidup dengan hati yang tegar. Tubuhnya yang telah renta dimakan usia, harus pasrah terbaring dan meringkuk di dalam gubuk deritanya yang terletak di Desa Binangga, Kabupaten Sigi.
Gubuk tua dengan ukuran 1.5 X 2 meter yang ia dapatkan dari bantuan masyarakat sekitar ini menjadi tempat beristirahat Hermin serta Diiringi rasa ketabahan dan kesabarannya yang luar biasa, tinggal dan bertahan hidup didalam gubuk tersebut.
Bertahan hidup dengan memulung di jalanan Kota palu
Demi memenuhi kebutuhan agar bisa bertahan hidup, apa hendak dikata, nenek ini terpaksa mencari nafkah dengan mengumpulkan barang bekas alias menjadi pemulung. Meski
terbilang telah uzur dan telah menjanda selama puluhan tahun, dia tak pernah terlalu mengharapkan bantuan orang lain, apalagi mengemis.
Selama ini, perempuan yang hidup sebatangkara ini menggantungkan hidup dari sampah dan limbah rumah tangga.
Untuk mengumpulkan barang bekas, dengan berbekal sepeda kumbang berwarna ungu pemberian orang, nenek Hermin harus menempuh jarak jarak kurang lebih belasan kilometer, dari tempat ia tinggal hingga ke Kota Palu.
Tidak jarang, jika hasil barang bekas yang ia kumpulkan banyak, nenek Hermin harus mendorong sepedanya tersebut hingga sampai kekediamanya.
”Biasa keluar sore jam 5, sampe di rumah itu jam 4 subuh,” tuturnya.
Kadang lelah yang tidak bisa lagi di tahan, membuat nenek Hermin sesekali merebahkan badannya di rumah toko yang berada dipinggiran jalan, Kota Palu.
Meski diakuinya bahwa mencari barang bekas bukanlah menjadi suatu penghalang, warga asal provinsi Jawa timur ini juga mengaku, bahwa hanya itulah satu-satunya usaha yang bisa dilakukannya.
Dari penghasilannya memulung, Nenek Hermin mengaku bahwa hasilnya hanya bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, dan kalau pun berlebih, cuma cukup untuk bekal esok harinya.
Ruas jalan yang berada di Kota Palu menjadi ladang pencarian Nek Hermin. Baginya, barang berkas dan limbah rumah tangga yang dibuang para warga, adalah berkah yang tak ternilai.
Ditanyai kapan berhenti memulung, dengan dana yang tegas nenek Hermin menjawab.”kalau saya berhenti memulung, mau makan apa. Yah selagi masih sehat masih memulung,” jelasnya.
Kisah nenek Hermin yang sebatang kara bertahan hidup dengan memulung, semoga dapat membuka hati kita untuk tidak mengeluh menjalani roda kehidupan.(Rangga Musabar)